Merah

10 2 0
                                    

[ m e r a h ]
  
 
  

Biru itu langit. Merah itu mawar.

Aku melihat warna merah yang lebih pekat dari merah Mawar. Lebih gelap dari kelopak Mawar. Lebih menyakitkan dari duri Mawar.

Merah ini kental dan berbau anyir. Ya, merah darah. Darahku.

Dulu aku diyakinkan kalau darahku biru. Aku orang terhormat. Aku disegani. Aku tak tersentuh.

Semua orang berlutut saat aku berjalan. Kakiku harus dibalut dengan sepatu khusus. Pun gaunku. Semua orang tidak boleh menatap mataku. Hanya orang pilihan yang bergaul dengan aku walau beberapa menit saja.

Aku seorang gadis kecil yang katanya cantik dan menarik. Aku tak diperbolehkan untuk melihat cermin. Katanya nanti cermin itu pecah karena kemolekanku. Aku percaya saja. Toh, semua orang bilang begitu. Ada yang penuh semangat, ada yang bernada takut, ada yang sambil menangis. Macam-macam. Tetapi, aku menarik satu kesimpulan. Ada kebohongan di setiap kalimat mereka.

•••

"Ha-halo, Nona. Anda cantik sekali hari ini." Perempuan dengan rok tutu berdiri di depanku.

"Terima kasih. Anda juga," balasku. Aku masih bisa menangkap kebohongan di kalimatnya barusan.

"Se-sekarang?"

"Oh, mari." Aku mempersilahkan perempuan muda berparas cantik ini mendahuluiku menuju ruangan. Umurnya mungkin lima atau enam tahun di atasku.

Seperti biasa, aku akan menggigit tangan siapapun yang disediakan Ayah dan Ibu. Kali ini, target yang diberikan mereka adalah nona cantik. Wajah ovalnya dibingkai rambut coklat terang bergelombang. Bibirnya tipis. Hidungnya tidak terlalu mancung. Matanya sipit. Cantik sekali, menurutku.

Kalau aku sedang sial, mungkin aku hanya ditemani nenek tua. Untungnya hari ini Ayah dan Ibu membawakanku teman yang cukup gemuk. Haus yang kurasa bisa hilang sebentar dengan cairan tubuhnya yang akan kuhisap.

Setelah masuk ke dalam ruangan serba hitam, aku melesat menuju nona cantik ini. Pergelangan tangan kanannya aku turunkan sesuai dengan tinggi badanku.

Nona cantik di hadapanku meronta, mendorong, dan memukulku tanpa ampun. Aku tak peduli. Tetapi, setelah darah berhenti mengalir di tubuhnya, ia langsung jatuh lemas dan tertidur. Kontras sekali denganku yang merasa bugar. Aku meninggalkan ruangan dan kembali duduk di kursiku.

•••

"Nona, cantik sekali hari ini." Lelaki tampan memujiku. Kali ini, aku tidak menangkap kebohongan. Ada getar lain di suara lelaki itu.

Aku tersenyum. "Terima kasih."

"Nama saya Abyzou, Nona."

Aku terkekeh saat tanganku diraih dan dikecup. "Saya El—"

"Semua orang tahu tentang Anda, Nona," potongnya.

Sekali lagi aku mengulum senyum simpul. Sedangkan seringai muncul di wajah tampan lelaki itu. Jujur saja, aku tak keberatan. Dengan atau tanpa seringai, wajahnya seperti malaikat.

"Sekarang?" tanyanya.

Aku mengerutkan kening. Bukankah santapan harianku baru datang tiga jam lagi? Aku tidak rela, lelaki semanis Abyzou tertidur setelah aku menggigitnya. Tapi, aku haus. Selalu haus hampir setiap hari.

YAMANILOKA #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang