Can't

174 15 4
                                    

Can't

 Biasanya pukul delapan malam aula SMA Bina Hutomo sudah dikunci oleh Pak  satpam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Biasanya pukul delapan malam aula SMA Bina Hutomo sudah dikunci oleh Pak satpam. Tapi karena hari ini adalah hari yang spesial bagi anak kelas XII, aula sekolahnya dibuka lebar-lebar. Aula sekolah mereka disulap menjadi sangat elegant dan juga cozy. Didominasi dengan warna merah marun disekeliling dindingnya.

Ini acara promnite. Acara yang sangat ditunggu-tunggu. Sebentar lagi bahkan selangkah lagi kelas XII akan menyudahi masa SMA-nya. Seragam putih abu-abunya kini sebentar lagi hanya akan terus menggantung di lemari dan menjadi sebuah memori. Memori yang tidak pernah dilupakan seumur hidup mereka.

Tidak bisa diragukan lagi. Wajah gembira mereka sangat jelas terlihat. Tidak laki-laki tidak juga perempuan, mereka sama. Saling menyalurkan kebahagiaan mereka di ruangan ini.

Tapi tidak dengan Tara. Perempuan dengan gaun peachnya itu hanya berdiri sendiri memandangi minuman dingin di tangannya.

Sudah satu jam ia menunggu Ardit, sahabatnya dari SD. Katanya, Ardit akan datang tepat waktu dan melihat Tara membawakan sebuah lagu untuk pembukaan promnite. Tapi nyatanya, laki-laki yang hobi main video game dan makan itu tidak terlihat sama sekali.

Tara kesal setengah mati. Ardit emang selalu gitu. Berjanji terus tapi diingkari terus juga. Padahal Tara sudah latihan berminggu-minggu agar sahabatnya itu bisa menyadari dan melihat bahwa Tara pantas masuk eskul band disekolahnya. Pasalnya Ardit selalu mengejek Tara bahwa dirinya gak pantes untuk menjadi tampang-tampang anak band.

"Ra, kok udah rame aja sih?" Tara menoleh ke arah suara tersebut. Disampingnya berdiri Ardit dengan setelan tuxedo berwarna biru langit dan kemeja putih. Diliriknya kebawah, Ardit memakai sepatu pantofel. Ardit 'kan tidak suka memakai sepatu pantofel.

"Kemana aja lo?" Tanya Tara sambil bersedekap.

"Dari rumah lah. Lo kok gak tampil, sih? Katanya mau kasih tau gue kalo lo itu anak band bangeeet."

Ardit mengambil kue kering yang ada di meja sebelah kirinya. Tara meninju pelan lengan Ardit yang menghasilkan ringisan pelas dari mulut sahabat lelakinya itu.

"Apaan sih, kok nonjok-nonjok. Udah tau tenaga lo kaya kuli. Kuat bener." Ardit mengusap pelan lengan dibalik tuxedonya.

"Bego banget sih. Gue udah tampil dari sejam yang lalu. 'Kan gue bilang gue tampilnya di acara pembukaan, nyet."

"Oh acaranya dimulai jam tujuh. Gue kira jam delapan. Makanya gue jam segitu masih anteng-anteng ngelanjutin main game." Toyoran keras mendarat mulus di kepala Ardit.

"Goblok banget sih lo. Udah keburu bete gua disini." Tara menandaskan minumannya lalu ditaruhnya gelas bening tersebut ke meja.

"Lagian ngapain ngarepin nih acara, sih. Mending tidur dirumah 'kan?" Tara mengangguk menyutujui ucapan Ardit.

Dari sekian banyaknya murid yang tidak sabaran menunggu promnite cepat berlangsung, sepertinya cuma Tara dan Ardit yang biasa aja. Mereka hanya mengharapkan makanan di promnite ini. Sekarang saja mereka hanya berdiri di samping meja utama yang menyajikan berbagai macam jenis makanan. Semua kue dari kering sampai basah pun sudah dicicipi oleh mereka. Bukan mencicipi sih lebih tepatnya memakannya banyak-banyak alias maruk.

"Lo kenyang gak, Ra?" Tanya Ardit masih dengan kue sus ditangannya.

"Enggak, sih. Tapi kasian gue takut anak-anak gak kebagian. Emangnya gue elo, tuh kue sus lo abisin hampir tiga piring." Ardit mendengus dengan ucapan Tara.

Mata mereka sama-sama melihat ke arah pintu aula yang terbuka lebar. Dan mereka saling melirik sambil tersenyum tipis, "Kabur yuk?" keduanya berbicara bersamaan.

Tara dan Ardit berjalan ke arah pintu aula beriringan. Mereka memasang senyum palsu biar gak ketauan kalau mereka akan pergi dari acara membosankan ini.

.

Bulan purnama menemani Tara dan Ardit yang sedang berjalan beriringan sambil tertawa di pinggir trotoar. Rencana mereka kabur dari promnite berhasil. Walaupun tadi, Raka si mantan ketua osis angkatannya sempat mencurigai mereka. Untungnya Tara mempunyai berbagai macam alibi agar Raka tidak terlalu mencurigai dirinya dan Ardit.

Selama berjalan, kakinya benar-benar gak nyaman dengan high heels putihnya. Tara pun melepaskan high heels setinggi lima sentimeter tersebut. Kaki kecilnya langsung bersentuhan dengan dinginnya trotoar pada malam hari.

"Kaya jalan sama gembel gue." Ardit mengomentari Tara yang biasa-biasa saja berjalan tanpa alas kaki sedikit pun.

"Sewot aja sih." Tara mengibaskan rambut sebahunya ke arah Ardit. Wangi khas shampoo Tara pun menjalar ke indra penciuman Ardit. Ia sangat suka dengan wangi ini.

"Karena gue sahabat yang baik. Gue juga bakal lepas sepatu gue deh. Lagian gue dari tadi gak betah pake nih sepatu. Kaya bapak-bapak kantoran tau gak." Tara tersenyum akan aksi Ardit yang juga ikut-ikutan melepas sepatu pantofel hitamnya. Jujur Tara lebih suka dengan Ardit dengan seragam putih abu-abunya dan sepatu converse buluknya daripada dengan tuxedo yang sangat rapih ini.

"Eh ada kacang rebus. Beli yuk?" Ardit mengangguk semangat lalu Tara menarik tangan Ardit agar mendekat ke arah penjual kacang rebus tersebut.

Seikat kacang rebus kini sudah ada ditangan mereka masing-masing. Mereka agak kesusahan untuk membuka kulit kacangnya karena sebelah tangan mereka juga sedang membawa alas kaki yang dilepas tadi. Tanpa rasa malu sedikit pun, mereka terus berjalan menyusuri trotoar dengan kaki telanjang mereka.

"Kita kaya gembel ya, Dit," Ardit tertawa sambil membuka kulit kacangnya, "oh iya, lo sama Vania gimana?"

Sebenarnya pertanyaan barusan terus-terusan menghantui fikiran Tara. Biasanya Tara akan selalu biasa saja dengan kisah percintaan abal-abal sahabatnya. Tapi entah kenapa kali ini beda, sepertinya Vania sudah benar-benar mengambil hati Ardit. Rasa nyeri di dadanya pasti selalu ada kala Ardit bercerita tentang bagaimana cantik dan baiknya Vania, bagaimana cara Ardit memandang Vania, dan bagaimana Ardit berdua bersama Vania. Tara benar-benar gak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya. Mungkinkah ia cemburu dengan sahabatnya sendiri?

"Enggak tau. Tadinya pas promnite gue mau nembak Vania. Tapi," Ardit menggantungkan kalimatnya. Kalimat barusan langsung memohok tenggorokan Tara. Ardit akan menyatakan cintanya kepada Vania malam ini juga.

"tapi, karna gue kabur dari promnite, kayanya gue gak jadi deh nembak Vania." Ardit tersenyum tipis lalu memasukkan kacang rebus ke dalam mulutnya.

Tara merasa bersalah kali ini. Kalau mereka gak kabur dari promnite, mungkin sekarang Ardit sedang bersama Vania dan menyampaikan cintanya kepada Vania.

"Gue minta maaf, Dit. Kita balik lagi ke promnite ya?" Tara menarik lengan Ardit tetapi Ardit menahannya walaupun sulit karena kedua tangannya ada kacang rebus dan sepatu pantofelnya.

"Gak usah, Ra. Telat juga kalo gue nembak sekarang." Ardit menarik senyumnya. Senyuman ini, senyuman favorit Tara. Senyuman yang selalu membuat hatinya bergejolak tak karuan, senyuman yang membuat Tara merasa nyaman, senyuman ini juga membuat Tara ingin selalu didekat Ardit.

"Seharusnya dari jauh-jauh hari lo nembak si Vania." Berusaha menormalkan detak jantungnya atas senyuman tadi, Tara mencoba tersenyum.

"Mau dari jauh hari ataupun sekarang sama aja, Ra. Kayanya gue gak bisa dapetin Vania."

Tara menggeleng, "Gak boleh pesimis duluan, Ardit."

Mereka terus berjalan menyusuri trotoar ini. Sampah kulit kacang rebus mereka seolah menjadi jejak kemana mereka pergi.

"Nyatanya emang gitu, Ra. Vania bakalan kuliah di Singapur. Dan kalo misalkan gue diterima dia pun, berarti tandanya gue bakal LDR-an sama dia. Lo tau 'kan gue gak suka sama hubungan jarak jauh?"

Ardit emang gak suka sama hubungan jarak jauh. Alasannya karena ia takut kekasihnya akan berbohong dengannya. Jika jarak dekat saja bisa berbohong bagaimana dengan jarak yang jauh?

Tara menepuk-nepuk pundak Ardit memberi semangat. Tara senang detik ini. Bukannya bermaksud berbahagia diatas penderitaan orang lain. Tapi setelah tau bahwa Vania tidak jadi menjadi milik Ardit membuat hati Tara sedikit senang.

"Kalo lo gimana?" Kini Ardit yang gantian bertanya.

"Gue?" Tara tertawa mendengar pertanyaan Ardit barusan.

"Iya elo, selama kita sahabatan kayanya lo gak pernah cerita lo pernah suka sama siapa. Sekarang jujur sama gue, sekarang lo lagi jatuh cinta sama siapa? Biar ntar gue bisa bantuin lo dikit-dikit."

Tara tertegun atas ucapan Ardit barusan. Benarkah dirinya tidak pernah bercerita siapa lelaki yang pernah disukainya?

"Lo ngomong apa sih. Gue enggak kok."

"Enggak apa? Jujur aja kali, Ra. Kaya gue siapa lo aja." Ardit merangkul bahu Tara sambik terus berjalan. Rasa lelah sepertinya belum merajai kaki mereka.

Tara membuang nafas panjang. Apa ia harus mengatakannya sekaranf juga?

"Ada cowok di sekolah yang selalu buat gue deg-degan kalo lagi deket-deket sama dia," Ardit tertarik dengan ucapan Tara barusan.

"cowok itu kocak sih. Dateng ke sekolah kadang kepagian kadang kesiangan. Kelakuannya juga masih bocah banget. Malu-maluin juga lagi anaknya." Ucap Tara sambil tertawa renyah membayangkan lelaki tersebut.

Ardit menyerengit, "Siapa cowok kaya gitu di sekolah kita? Adek kelas atau siapa?"

Tara menggeleng seraya tersenyum, "Anaknya bego banget, Dit. Gobloknya juga gak ketulungan. Kalo lagi belajar lemotnya minta ampun banget,"

Semua ucapan yang terlontar dari mulut Tara membuat Ardit benar-benar penasaran. Siapakah lelaki yang sudah mengambil hati sahabat perempuannya ini?

"saking bego, goblok, dan tololnya dia gak pernah tau kalo gue suka sama dia. Dia selalu kasih perlakuan yang manis ke gue. Ya walaupun sederhana banget tapi itu sangat berharga bagi gue,"

Ardit menatap sahabatnya dengan tatapan serius. Tara bercerita sambil terus tersenyum.

"kaya; kalo ada orang yang jail, ngeledek, ngomelin gue tuh dia ngelindungin gue. Dia jailin balik yang ngejailin gue, diaj marahin balik yang marahin gue, pokoknya semua orang yang jahat ke gue dia jahatin balik. Dia kaya bener-bener ngelindungin gue. Tatapan matanya ngebuat gue selalu ngerasa aman kalo dideket dia. Pelukannya anget banget, gue sampe gak mau ngelepas pelukannya.

"Elusan tangannya ke rambut gue selalu ngebuat gue mati rasa. Kalo dia senyum, ketawa, ngambek, cemberut atau apapun itu ekspresinya, gue selalu suka. Gue juga kasih perhatian yang sama ke dia, karena emang kita deket banget. Gue selalu ngerasa kalo gue bener-bener jatuh cinta, tapi gak tau kalo dia. Kayanya dia emang gitu ke semua orang," Tara tersenyum kecut mengingatnya, "gue kira gue yang spesial di matanya. Nyatanya, semua orang di matanya emang selalu dia spesialkan." Ardit mengelus bahu Tara. Menyalurkan energi yang sempat Tara salurkan kedirinya kini ia salurkan kembali ke tubuh Tara.

"Gue gak tau harus apa, Ra." Kata Ardit masih dengan rangkulannya di bahu Tara.

"Lo gak harus ngapa-ngapain, Dit. Nanti juga lo tau lo harus apa," Tara tersenyum. Ardit tau ini senyuman palsu. Ini hanya tameng untuk menutupi seberapa perihnya yang Tara rasakan saat ini.

"sebenernya gue bego banget sih. Gue udah yakin banget kalo dia juga suka sama gue. Tapi kemudian, gue tau dia jatuh cintanya bukan sama gue. Tapi sama cewek lain. Bahkan cewek itu lebih baik dari gue. Dia lebih feminim, lebih cantik, lebih pinter, pokoknya diatas gue deh. Dan lo tau, dia selalu cerita ke gue kalo dia cinta sama cewek itu. Dia gak berani bilang ke cewek itu. Sama kaya gue, gak berani bilang ke dia kalo gue cinta sama dia. Kita berdua udah kaya anak tolol sama-sama gak mau ngakuin perasaan kita ke orang yang kita sukain."

Ardit menepuk jidatnya pelan, "Duh bego banget sih lo, Ra. Seharusnya lo minta bantuan ke gue. Pasti gue bantuin kok."

Tara tersenyum kecut lalu menggeleng, "Gak mungkin bisa, Dit."

"Kenapa gue gak bisa bantuin lo?"

Dielusnya lengan Tara sendiri. Angin malam sedikit membuat Tara kedinginan. Pandangannya sudah mengabur tertutupi air matanya.

"Karena gue gak mungkin minta bantuan ke orangnya langsung." Langkah Ardit memelan. Ia memandangi sahabat perempuannya dengan tatapan bingung. Kini kakinya lemas. Entah karena berjalan sejauh apa atau karena ucapan Tara yang agak memojokkannya.

"Maksud lo apa, Ra?"

Tara mengadahkan kepalanya lalu mengerjapkan matanya berulang-ulang tak mau air matanya jatuh begitu saja, "Lo belum ngerti juga? Apa gue harus bener-bener ngomong di depan lo?"

"Kalo itu ngebuat lo baik-baik aja, kenapa enggak?"

Tara membuang nafasnya guna menetralkan rasa sakit dihatinya, "Dit, apa yang bakal lo lakuin kalo misalkan lo jatuh cinta sama sahabat lo sendiri?" Ardit menatap Tara intens.

"Gak mungkin lah gue jatuh cinta sama sahabat gue sendiri. Apalagi sama lo." Ardit terkekeh pelan.

Tara memejamkan matanya. Merasakan pedih diseluruh hatinya. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Perkataan Ardit barusan bagaikan palu godam yang menghantam kepala Tara.

"Dari tadi gue cerita panjang lebar sama lo, apa lo ngerti? Lo tau gak gue selama ini suka sama siapa?"

Deru nafas Tara layaknya seekor banteng yang melihat bendera merah. Antara kesal dan sedih bercampur aduk ditubuhnya. Ardit terlalu bodoh untuk mencerna semua yang cerita Tara.

"Ya makanya gue minta lo cerita sama gue. Biar gue tau, cowok mana sih yang bisa ngambil hati lo."

"Lo!" Tara berteriak di depan wajah Ardit.

Ardit menyerengit, "Ra, kalo ngom--"

"Dit, otak lo bisa diajak serius dikit gak sih? Ya masa hal kaya gini aja lo gak paham-paham dari tadi." Tara memotong ucapan Ardit begitu saja. Kekesalannya kini benar-benar sudah diujung. Masa iya cewek duluan yang ngomong.

Mereka sama-sama terdiam. Kacang rebus mereka mendingin. Entah kenapa jalan raya disamping mereka mendadak sepi.

"Sebenernya gue ngerti dari tadi, Ra. Cuma, gue nyoba ngalihin pembicaraan ini aja. Gue berharap ini semua cuman candaan lo yang garing. Tapi, gue ngeliat di mata lo, kalo semuanya itu bener." Tara menengok ke arah Ardit. Jadi dari tadi Tara hanya dipermainkan? Lalu kata-kata yang menyayat hatinya tadi apa hanya candaan? Atau betulan?

Tara menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang masih setia menenteng high heels dan kacang rebusnya. Tara malu. Tara mau lari dari sini. Tara mau pulang.

"Yaudah kalo lo ngerti. Kita balik aja." Tara berjalan lebih dulu dari Ardit. Tapi Ardit masih diam ditempat. Memandang punggung Tara yang bergetar. Tidak mungkin seorang Tara Alana yang tangguh itu menangis.

Tapi perasaan perempuan tidak bisa dibohongi. Sekuat-kuatnya ia menutupi perasaan cintanya, pasti Ardit akan mengetahuinya. Cepat atau lambat. Dan sekarang waktunya.

Dari dulu Ardit berharap kejadian ini tidak akan pernah terjadi. Tapi ia bukan Tuhan. Jadi, jangan salahkan siapa-siapa. Apalagi Tara, ia tak pernah meminta untuk mencintai Ardit. Itu datang sendiri.

Ardit menyamakan langkahnya dengan Tara. Wajah Tara sembab sehabis menangis. Ardit menyesal kali ini, tidak bisa menghapus air mata sahabatnya.

"Gue udah coba buat suka sama orang lain. Tapi tetep aja, gue gak bisa. Gue udah tahan rasa suka ini karena gue tau kita ini sahabatan. Karena gue tau kita gak mungkin bisa pacaran." Tara tersenyum kecut. Sedari tadi Ardit terus menatap Tara. Tapi mata Tara enggan untuk menatap kembali mata Ardit.

Kaki mereka sama-sama berhenti. High heels ditangan Tara jatuh ke samping kakinya.

"Ini yang gue takutin dari awal, Ra. Gue takut salah satu diantara kita ada yang jatuh cinta. Dan gara-gara perasaan cinta itu malah ngebuat persahabatan kita renggang dan hancur, Ra. Gue gak mau persahabatan kita yang udah dari SD ancur gitu aja cuman karena..." Ardit ragu untuk melanjutkan ucapannya. Takut Tara tersakiti.

"Karena apa?"

"Karena gue gak bisa bales perasaan lo." Susah payah Ardit mencari-cari kata yang pas agar Tara tidak tersakiti. Percuma, bagaimanapun kata-katanya, bagaimanapun intonasinya, bagaimanapun nada bicaranya, Tara akan tetap tersakiti.

"Gue tau lo bakal bilang kaya gitu." Tara mengulum bibirnya. Ardit mengangguk-anggukan kepalanya gerogi.

Ardit mencoba menenangkan suasana menegangkan ini. Di elusnya bahu Tara pelan, "Gue janji untuk mencoba mencintai lo balik. Tapi gue gak janji apa gue bisa, Ra."

Tanpa disadari keduanya make up tipis di wajah Tara sudah luntur.

"Apa gue harus pergi dari hidup lo, Dit?"

Ardit menggeleng cepat, "Enggak, lo gaboleh pergi dari hidup gue. Elo itu pondasi gue. Kalo gak ada lo, gue gak bisa berdiri buat ngejalanin hidup. Gue yakin hidup gue bakal berantakan kalo gak ada elo," Ardit memberi jeda sejenak, "Elo sahabat gue selamanya, Ra."

Tara mengangguk seraya tersenyum, "Oke gue gak bakal pergi."

"Maafin gue, Ra. Gue gak bisa bales perasaan lo. Tolong sehabis ini lo jangan berubah. Jangan pergi dari hidup gue. Tetep jadi Tara Alana yang gue kenal. Kalo bisa lo lupain malam ini. Persahabatan ini harus tetep berjalan, Ra." Ardit memegangi kedua bahu Tara. Dan Tara tersenyum seraya mengangguk lagi.

Tara mengangguk bukannya sudah menerima semuanya. Tapi ia mengangguk semata-mata agar Ardit percaya kalau dirinya tidak apa-apa.

Kini sebuah fakta terkuak. Bahwa Ardit menginginkannya hanya untuk persahabatan mereka. Ardit hanya mempertahankan persahabatannya. Ardit hanya mau ia bersahabat saja dengan dirinya. Takdir mereka bukan seperti cerita-cerita fiksi di novel. Bersahabat lama lalu mereka menikah dan bahagia selamanya. Tapi takdir mereka berada di novel yang berbeda, dengan akhir yang berbeda pula. Tetap menjadi sahabat walaupun salah satu diantaranya harus menerima fakta, bahwa dirinya bahagia bukan karena cintanya terbalaskan oleh sahabatnya sendiri, tapi cintanya tak terbalaskan tetapi persahabatan mereka terus berlanjut.

"Kita dimana ya, Ra?" Tanya Ardit.

"Gak tau."

Mereka pun tertawa. Mereka masih berjalan dengan telanjang kaki. Mereka masih memakai baju promnite. Mereka masih terus berjalan di trotoar. Mereka masih memakan kacang rebusnya. Mereka masih tertawa karena entah mereka ada dimana. Dan mereka masih tetap bersahabat.

Hati Ardit tenang karena bisa menyelesaikan semuanya. Tapi tidak dengan Tara. Tara semakin acak-acakan. Tidak mungkin esok hari dirinya bisa lupa dengan kejadian malam ini. Mungkin malam ini akan terus terngiang di otaknya untuk selamanya. Ardit bisa saja bertingkah biasa saja seolah-olah hari ini tidak ada. Ardit juga bisa saja melupakan perasaan Tara. Tapi Tara tidak akan pernah bisa. Rasa cintanya lama-lama akan membesar jika keduanya masih tetap bersahabat. Cinta Tara kepada Ardit tidak bisa hilang begitu saja. Semuanya tidak akan bisa jika dirinya dan Ardit masih bersahabat. Bahkan mungkin Ardit tidak akan pernah bisa membalas cinta Tara.

Kemanapun dirinya pergi, jika orang yang dicintainya terus bersamanya, rasa cintanya tidak akan pernah bisa hilang. Rasa cinta itu akan terus meluap tak terbendung.

Bendungan seluruh dunia tidak akan pernah bisa menampung rasa cinta yang tidak terbalaskan. Karena setiap cinta yang tak terbalas, cinta tersebut akan terus bertambah setiap harinya. Begitupun cinta Tara kepada Ardit.

Mereka bisa terus bersahabat. Mereka bisa terus tertawa. Mereka bisa terus melakukan hal-hal yang gila. Tapi mereka tidak bisa untuk satu hal. Satu hal itu adalah mengulang malam ini. Tara dan Ardit tidak bisa mengulang malam ini untuk menarik kata-katanya.
.
.
.
.
.

'I can't be yours. You can't be mine. Because we're just can be bestfriend.'

Cerita TeenfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang