;Menghimpun Asa

56 3 10
                                    

Saya memperhatikan Amba mondar-mandir daritadi. Sepanjang siang dia masih sibuk membereskan sisa gado-gado, masih seperti biasa. Mungkin dia mencari apa yang bisa digoreng malam ini untuk lauk. Mata saya sudah berat rasanya ditambah perut keroncongan. Saya tinggalkan Amba di dapur untuk menyendiri.

Belum ada dua detik kelopak mata tertutup, saya merasakan Amba masuk kamar.

"Ahimsa, ibu mau ngomong," dia duduk di pinggir dipan. Saya berbalik dengan mata lima watt.

"Kenapa, bu?"

"Kamu gak mau kan sampai tua di kampung?" tatapan matanya seolah menusuk hati saya.

Saya menggeleng. Ludah saya tersangkut di pangkal tenggorokan.

"Setelah ibu pikir, ada baiknya kamu merantau ke kota. Toh, sudah besar juga. Ibu masih bisa jaga diri kok meski kamu gak ada".

Ya ampun! Saya peduli setan dengan urusan dia setelah saya tinggal. Justru saya berasumsi kalau dia punya rencana menikah lagi setelah saya pergi. Apa pula artinya saya? Hanya anak tiri dari suami yang sudah meninggal. Mungkin dia haus perhatian laki-laki dan butuh pencari nafkah lagi. Saya mencari-cari kemunafikan di mata Amba. Hanya ada gumpalan hitam tanpa emosi, kosong seperti isi lumpang beras kami. Sebersit penyesalan muncul karena berburuk sangka kepada ibu tiri saya.

"Tapi ke Jakarta kan butuh uang, bu. Lagipula saya cuma lulusan SMP mau kerja dimana?".

"Uang urusan gampang. Ada tabungan ibu kok. Nanti kamu kerja di tempat teman ibu dulu," ibu mencoba meyakinkan saya.

"Tapi apa gak lebih baik uangnya untuk bayar hutang aja?"

Amba seperti habis kesabaran. Nadanya naik beberapa tingkat.

"Ahimsa! Kalau kamu kerja di Jakarta, gajinya pasti lebih besar daripada cuma dagang gado-gado. Lagian kamu di rumah juga nganggur. Umur-umur kamu tuh harusnya cari uang biar hutang ayahmu yang udah mati cepet lunas!"

Saya hampir meledak ketika dia bilang ayah sudah mati. Memang benar ayah sudah mati dan meninggalkan hutang tapi dia tidak berhak menjelek-jelekan ayah. Saya ingin marah, tapi saya malu. Ya, dia benar! Saya menganggur. Tapi saya menganggur juga karena dia yang memutus pendidikan saya dan bilang kalau wanita tinggal menunggu waktu dikawini bukan?! Andai saja Amba tidak memberhentikan sekolah saya, pasti sekarang saya sudah kuliah di kota! Ini semua karena hutang keparat itu. Semuanya salah mereka dan saya yang menjadi korban.

Amba menghapus setitik air mata di pipi saya. Pundak saya dipegang erat sambil matanya meminta jawaban. Saya pun mengalah. Amba tersenyum ketika saya mengangguk setuju lalu memeluk saya erat. Pelukan ini terasa aneh karena saya tidak pernah dipeluk siapapun. Saya dengan canggung mengelus punggung Amba. Malam itu, saya tidak bisa tidur memikirkan besok akan menjadi hari terakhir saya di kampung ini dan memulai petualangan baru di kota. Hah, petualangan. Saya kan ke Jakarta untuk bekerja.

**

"Rambutan abis! Rambutan terminal!"

Kondektur membangunkan saya dari tidur sembari meneriakan tujuan akhir yaitu terminal Kampung Rambutan. Suasana sudah menjelang sore dan hiruk pikuk terminal sangat terasa. Saya bersiap turun dan mengecek semua perlengkapan yang saya bawa.

Saya disambut jejeran angkot, taksi, serta ojek menawarkan tumpangan. Saya celingukan mencari transportasi apa yang cocok. Baru saja kaki saya mengarah ke deretan angkot berwarna biru muda, perut saya protes. Ah, memang baiknya menuntaskan urusan perut dulu.

Insting lapar saya mencium bau ayam bakar berjarak dua puluh langkah dari sini. Duh, perut saya sudah protes karena saya jalannya lambat. Saya langsung masuk dan antri untuk memesan. Ketika tangan saya merogoh saku jaket, sebuah kertas yang dilipat rapi terjatuh.

"Mbak ini kertasnya jatuh," tangan cokelat itu menyodorkan surat dari Amba yang tadi jatuh.

Saya menerimanya dan melihat sosok berparas kalem dengan janggut belum dicukur tiga hari. Ya ampun, Tuhan kali ini pasti tidak bercanda! Lelaki depan saya kembali ke bangku di pojok menunggu pesanannya. Mata saya memantaunya dari kasir. Seandainya saya bisa mengajaknya berkenalan.

"Totalnya dua puluh ribu, mbak".

Saya gelagapan mencari uang di kantong dan segera mengambil pesanan. Warung penuh dengan orang menyuap, merokok, dan ngobrol. Mata saya mencari-cari tempat yang kosong. Dunia sedang berpihak ke saya! Hanya bangku di sebelah lelaki tadi yang kosong. Saya senyum-senyum jaim. Semoga langkah saya tidak terlihat antusias. Bikin malu Sukabumi saja kalau saya norak di depan lelaki.

"Permisi, mas," saya menaruh piring sambil curi-curi lihat wajahnya sekali lagi.

"Oh, silahkan mbak," dia menggeser duduknya sedikit agar saya bisa masuk.

Kami pun menikmati makanan masing-masing. Saya tidak bisa merasakan makanan yang sedang tercerna karena sibuk memikirkan percakapan yang ingin saya lontarkan. Mau bertanya tinggal dimana, nanti disangka saya agresif. Mau tanya hari ini cuacanya bagaimana, barusan juga hujan.

"Tinggal dimana, mbak?"

Eh itu suara dia barusan?

"Tinggal di Sukabumi, mas," ucap saya pelan takut memuncratkan nasi yang baru tercerna.

Dia mengambil gelas yang jaraknya hanya beberapa jengkal dari jari saya membuat jantung saya tidak karuan.

"Ooh, kesini mau kerja? Apa kuliah?"

"Kuliah mah saya gak punya uang, mas. Ke Jakarta mau kerja di perusahaan teman ibu saya". Dia mengangguk seakan tau saya hendak kerja dimana.

Kemudian kami diam, kembali mengunyah. Saya kembali sibuk merangkai kata. Kalau saya tidak bertanya, nanti dia kira saya sombong. Duh, tapi saya harus bertanya apa?

"Habis ini langsung kerja mba?" Mas ini bertanya lagi, memutus kebingungan saya.

Saya pun tersenyum dan mengalihkan pandangan ke arahnya.

"Iya, mas. Harus ke daerah Bangka katanya dekat dari sini," saya menyodorkan alamat yang ditulis tangan ibu.

"Oh ini sih deket sama rumah saya. Saya tinggal di Kemang Timur," senyum saya semakin lebar.

"Kalau dari sini naik apa ya, mas?" Pupil mata saya membesar, mengharapkan jawaban yang lebih dari sekedar penunjuk jalan.

Tuhan, kalau memang Engkau baik, semoga hari ini bukan bahan lelucon. Semoga.

**

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 20, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

;AhimsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang