Nama saya Ahimsa. Nama panjang yang diberikan ayah saya adalah Ahimsa Megaparas. Saya tidak benci Tuhan tapi tidak pula percaya padaNya. Kampung saya di Sukabumi banyak mengenal pesugihan, padahal katanya mereka percaya Tuhan. Hah, kalau Tuhan memang ada seharusnya dia tau kalau hidup tidak bisa menjadi bahan ejekan. Kesialan datang silih berganti dan saya tidak bisa mengelak.
Setiap subuh saya sholat sembari memanjatkan doa agar Tuhan hari ini tidak bercanda dengan hidup saya. Sudah cukup ketika saya lahir nyawa ibu direnggut, disusul ayah beberapa tahun lalu meyisakan hutang dan perempuan lain yang harus saya panggil "ibu". Tugas ayah mengenalkan "ibu" pada saya belum selesai, namun saya sudah harus tinggal bersamanya. Siapa yang sebenarnya asing di gubuk ini?
Belum cukup merasa asing di rumah sendiri, berkurang juga jatah pendidikan saya. Putus sekolah hanya menyisakan saya saya dan emping-emping keparat yang harus digoreng setiap malam. Emping-emping yang menjadi menu utama pula ketika tidak mampu menanak nasi.
Mungkin ibu saya yang sebenarnya membawa sial. Dia bunting lalu mati sehingga ayah harus repot berhutang untuk membayar uang pemakaman dan perawatan saya. Ayah mungkin sakit jantung karena sadar sampai kiamat uangnya tidak cukup untuk membayar hutang.
Sejak saat itu saya tidak percaya pesugihan, saya percaya perhutangan.
Saya dan "ibu" tidak pernah dekat tetapi juga tidak membenci. Tegur sapa sehari-hari juga sebatas "sudah makan?", "nanti tolong belikan cabai di pasar", "jangan lupa timba air nanti sore!" itu saja.
"Jadi perempuan gak usah sekolah tinggi-tinggi! Ujungnya juga jadi istri, kalau ditinggal mati ya harus kuat sendiri," ucap Amba "ibu" saya.
Saya ingin nyinyir ketika Amba berkata begitu. Mungkin Amba yang membawa sial ke keluarga saya. Bukan tidak mungkin ayah mati karena kesialannya, toh dia sudah ditinggal mati dua kali. Tidak mungkin dia ikut tertimpa sial karena masuk ke keluarga saya.
"Ahimsa,gosong."
"Astaga!" cepat-cepat saya matikan kompor. Saya bisa merasakan aura Amba ingin menceburkan kepala saya ke minyak panas.
Satu ons lauk makan malam kami kini berubah kehitaman.
**
"Ibu nanti mau solat maghrib bareng?" dia diam sambil terus mengulek bumbu kacang di dapur. Oh, ya sudah saya berjalan keluar sambil menunggu azan. Saya memang tidak pernah melihatnya sholat, mungkin dia sepanjang tahun menstruasi. Padahal saya berharap kalau kami solat berdua, kesialan akan berhenti menimpa.
"Goreng emping saja tidak becus!" Amba memarahi saya atas insiden tadi siang. Mungkin dia masih marah sehingga memasang aksi diam.
Saya memilih berkumpul bersama teman-teman daripada diam di rumah. Saya dengar obrolan mereka tentang jodohnya kelak, rencana menikah dalam dua atau tiga tahun ke depan. Semua dibicarakan sampai detailnya. Katering harus yang banyak dan enak, kebaya harus yang bagus biar tidak bikin malu. Saya senang mendengar antusiasme mereka. Mereka bercerita seakan-akan si Asep atau si Marwan akan menikahinya besok padahal laki-laki itu masih suka nongkrong di pos ronda sambil main gaplek tiap malam.
"Kalau kamu, atuh?" Oci mencolek lenganku.
"Aku? Ah, siapa juga yang mau sama tukang gado-gado setengah nganggur gini?" ujarku sinis.
Yana yang rambutnya sedang dikepang menoleh, "Ih! Kamu teh cantik. Yuda kayaknya naksir tuh sama kamu. Abisnya setiap pulang solat isya, ngeliatin terus sampe tikungan gang". Ucapan Yana disambut anggukan setuju yang lain.
Saya tersipu. Sudah beberapa kali saya ngobrol dengan Yuda dan saya selalu gelagapan. Tampangnya teduh setiap habis berwudhu. Apalagi suaranya membuktikan gelar juara muratal Qur'an se-kabupaten dulu.
"Heh! Malah ngalamun weh!".
Saya tidak menjawab apapun pertanyaan yang akan mereka lontarkan. Tiba-tiba suara muratal Yuda mulai terdengar dari pengeras suara surau. Sudah mau maghrib, kami berempat bubar dan siap-siap berangkat solat. Aku mulai mengingat apakah aku menyimpan parfum yang dulu beli di pasar malam. Ah sudahlah, mau sholat kok mikirin berkhalwat sama Yuda! Aku tersenyum sendiri.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
;Ahimsa
Short Story[18+] Indonesia punya cerita rakyat Timun Mas. Kini Timun Mas memasuki era modern. Timun Mas bercerita tentang anak yang harus diserahkan kepada raksasa bernama Buto Ijo sebagai balas budi atas hadiah yang kemudian si gadis cilik akhirnya kabur dari...