Introduction

23 1 2
                                    

Wahai Dewi di langit, dingin sekali di sini.


Howard merasakan seluruh tubuhnya mengigil. Gurun di malam hari sama sekali tidak main-main. Melanjutkan perjalanan dalam cuaca seperti ini sama dengan bunuh diri. Howard bersyukur ia telah menemukan tempat untuk bermalam. Sayangnya untuk saat ini ia masih belum bisa bersantai di dalamnya.

Masih mengenakan seluruh zirahnya, Howard terus melangkah. Sesekali ia akan berhenti dan melihat sekitar, memperhatikan langit, tanah dan bebatuan. Ia memastikan tidak ada apapun—baik itu manusia, hewan, atau hantu sekalipun. Kalau ia menemukan penolong, bagus. Kalau ia menemukan bahaya, gawat. Kalau ia tidak menemukan apa-apa... Ya sudah.

Setelah berpatroli selama satu jam, Howard merasa cukup yakin daerah ini kosong. Ia kembali ke markas yang ia temukan tadi untuk beristirahat.

Sesampainya di sana, Howard terkejut ketika merasakan kehangatan di tenda. Bahkan bisa dibilang terasa cukup panas. Kemudian Howard melihat gadis elf tadi berbaring di tengah tenda, ia duduk ketika melihat Howard.

"Bagaimana?"

"Tidak ada apa-apa," Howard menggeleng.

"Oh," Bagaikan tidak peduli, gadis elf itu kembali berbaring. Howard dibuat sedikit jengkel olehnya.

Lelaki itu menghela nafas panjang, kemudian mulai melepas baju zirahnya. Ia letakkan dengan rapi di sudut tenda, tempat yang lainnya meletakkan barang-barang mereka. Howard lalu duduk di tengah tenda, di seberang gadis elf itu. Masih merasakan kehangatan, Howard bertanya-tanya darimana asal kehangatan ini.

"Hei, kamu merasa panas tidak?"

Mendengar pertanyaan Howard, gadis elf itu bangkit dan duduk, wajahnya kusut, "Kau pikir untuk apa aku melepas mantelku? Di sini memang panas! Itu karena si kerdil itu mengeset mesin pemanasnya terlalu tinggi! Karena cuma si kecil itu yang tahu cara pakainya, aku tidak bisa apa-apa! Huh!" Lalu ia kembali berbaring lagi.

Menahan rasa jengkelnya, Howard menoleh ke samping pintu masuk yang berlawanan arah dengan tempatnya meletakkan baju zirahnya. Terdapat sebuah benda bulat yang mirip tungku, namun memiliki semacam kristal di bagian atasnya. Howard pun mengingat bahwa benda itu adalah pemanas yang menggunakan kekuatan sihir. Batu sihir di atasnya adalah yang membuat pemanas itu bekerja. Setahu Howard, alat itu hanya dimiliki oleh orang-orang kaya dan bangsawan.

Kemudian Howard merasakan tarikan di punggungnya, seseorang menarik kaosnya. Ia berbalik dan terkejut melihat seseorang berbaring terngkurap, sepertinya ia merayap mendekati Howard. Melihat rambut panjangnya yang terurai—sedikit berantakan—tanpa melihat wajahnya sekalipun, Howard bisa menduga sosok itu adalah Sang Pahlawan.

"Hei..." Sang Pahlawan mendongak dengan wajah pucat, "B-bunuh aku..."

"Kau sadar tidak kalau kau sudah kelihatan setengah mati?" Howard tersenyum sinis.

Perlahan Sang Pahlawan bangkit dan duduk, tetapi kepalanya masih menggantung seakan ia tidak punya semangat hidup. Setelah menanggalkan baju zirahnya dan mengenakan pakaian biasa, terungkap bahwa tubuh Sang Pahlawan tidak berbeda dengan gadis-gadis seumurnya—ia kelihatan seperti seorang gadis biasa. Entah kenapa, dada Howard terasa sesak ketika menyadari itu.

"Lapar... Aku sangat, sangat lapar..."

"Aku tahu. Apa si kecil itu belum selesai masak?"

"Mungkin... Mungkin ia sudah memakan semuanya sendiri..."

"Ia tidak mungkin melakukan itu."

Howard bangkit berdiri dan berjalan memasuki tenda itu lebih dalam lagi. Ia sampai di ujungnya, yaitu sebuah dapur kecil. Si gadis berkacamata dengan rambut panjang yang dikepang itu berdiri sendirian di depan kompor. Kepalanya bergoyang ke kanan dan kiri seraya mengaduk isi panci. Samar-samar tercium bau harum.

Journey To The BeachTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang