Finding Mr. Right
PART 2
Pangkal kakiku terasa nyeri sekali. Aku menunduk untuk menjangkaunya sehingga dapat mengurutnya pelan-pelan. Setidaknya ini adalah cara agar sakit dan nyeriku dapat sedikit hilang dan cara agar orang-orang di sekitarku tidak menatapku heran, seperti aku ini makhluk dari dimensi astral.
Aku sadar, wajahku mungkin sangat-amat-tidak enak dilihat. Dengan mata bengkak, hidung merah, riasan wajah yang entah melebar kemana, baju yang kusut, ditambah rambut yang awut-awutan. Aku mungkin bukan terlihat seperti makhluk astral, tapi orang gila, yang lebih gilanya lagi berani memasuki tempat seramai ini.
Tempat ini masih sama ketika aku memperhatikannya sejak tadi. Ramai oleh pengunjung yang sibuk dengan gelas kertas plus kepulan asap wangi aroma kopi yang tersebar di penjuru ruangan.
Aku memilih duduk di kursi kayu minimalis yang terletak persis di samping jendela. Di sebelahnya taman bunga kecil nan cantik terhampar, mawar-mawarnya terlihat anggun akibat bantuan lampu tamannya yang temaram sama seperti di ruangan ini. Ku dongakkan kepala, sedikit takut sekaligus malu karena keadaan wajahku sekarang, dan apa yang kulihat benar-benar membuat hatiku sedikit lega.
Tidak ada yang memperhatikanku, tidak ada yang menatapku heran, tidak ada yang berbisik-bisik sambil mendelik ke arahku, tidak ada yang aneh, mungkin tidak ada juga yang menyadari kehadiranku saat ini.
“Heran ya?” tanya sebuah suara mengagetkanku. Otomatis kepalaku langsung mencari sumber suara tersebut. Dia di depanku.
“Baru pertama kali ke sini kan?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. Ia tersenyum, kedua lesung pipinya muncul.
“Kenalin, saya Javas Kastara.” Lelaki itu mengangsurkan tangannya. Sempat terpana beberapa detik, akhirnya aku menyambut ulurannya. Merasakan genggamannya yang begitu hangat dan akrab. Seperti kawan lama padahal aku baru bertemu dengannya di sini.
“Aku, Alila,” balasku kikuk. Tubuhku tiba-tiba menggigil. Termakan habis oleh angin malam yang menembus lapisan kaca di sampingku. Hangatnya cafe ini sedikit demi sedikit kian terkikis, terlebih dengan sesosok makhluk yang sedari tadi diam memandangiku.
“Kamu mau pesan apa?” tanyanya setelah diam kami yang begitu lama. Bibirnya membentuk senyuman. Aku tergeragap karena terlalu fokus memperhatikan wajahnya yang anehnya dapat menghangatkan. Ini terlalu cepat Al. Kau tidak bisa untuk…
“So, Alila?”
Oh aku benar-benar malu sekarang.
“Espresso. Double Espresso.” jawabku tergugu. Lagi-lagi ia tersenyum sambil bangkit berdiri menuju counter.
***
Coffee Shop yang entah-apa-namanya yang tak sengaja kudatangi ini, memang berbeda dari nuansa cafe kebanyakan. Konsep ruangannya seakan membuatmu terpelanting jauh menembus waktu. Jauh dari kemodern-an, dari segala tetek bengek teknologi zaman sekarang, dari tante-tante centil yang terkikik penuh gosip di sudut ruangan, dari segerombolan anak remaja yang berdandan dewasa meminta menjadi pusat perhatian.
Ruangannya tidak begitu besar, hanya cukup untuk sepuluh pasang kursi kayu yang ditata monoton di bagian kiri dan kanan ruangan persegi, dan satu set sofa cokelat di bagian sudut. Uniknya cafe ini selain mengusung tema vintage indoor, tetapi ada juga kursi-kursi yang di tata apik di luar ruangan. Di letakkan di samping lampu taman cantik, di sebelah bougenville putih yang berbunga, di dekat kolam ikan koi dengan air terjun buatan yang terdengar bergemericik menenangkan.
Setiap orang memiliki kesibukannya masing-masing. Ada yang bercengkrama santai dengan lawan bicaranya, ada yang duduk termenung di sudut taman sendirian, ada yang serius membaca buku. Semua orang seperti asyik dengan dunianya, tidak ada mata yang jelalatan mencari seuntai gosip yang siap untuk disebarkan sesama golongan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Finding Mr. Right
RomanceUntuk apa kamu pertahankan ini semua kalau akhirnya kamu juga yang akan meninggalkan? Untuk apa kamu susah-susah kejar aku kalau kamu juga yang akan berlari? Untuk apa kamu bilang cinta kalau rasa itu sendiri sudah memudar? Alila menatap wajah di ha...