"Pergi kerja dengan mata lo segede bola basket gini is a big NO NO NO, Darling Alila. Kondisi lo lagi kacau, jangan coba-coba deh keluar dengan tampilan ala zombie!” Darlene menunjuk tampilanku yang yeah, kuakui sangat terlihat kacau walau lima belas menit mati-matian kuhabiskan untuk membuat mataku yang bengkak dan sembab ini menjadi normal dengan berbagai cara darimulai mengompres memakai air dingin sampai menaruh es batu ke kedua mataku. Pekerjaan yang sia-sia karena mataku tetap saja bengkak, belum lagi hidungku yang merah.
“Tapi gue harus kerja Darlene, honey. Apa kata bos gue nanti kalau tahu gue nggak masuk hari ini? Bisa-bisa gue dipecat,” sahutku lelah.
“Duh, pernah diajarin ngebohong nggak sih waktu kecil dulu? Nggak ya? Sini gue ajarin ya.” Darlene menatap mataku lekat-lekat. “Yang perlu lakuin cuman angkat telepon dan bilang sama bos lo tercinta itu kalau lo sakit dan nggak bisa masuk kerja. Keterlaluan banget kalau sampai bos lo itu nggak ngijinin lo untuk libur!”
“And anyway, itu bukan bohong sih. Jujur malah. Lo kan lagi sakit Alila, sakit hati. Right?”
Aku mendengus.
“C’mon, Alila. Kondisi lo, gue ulangi ya, benar-benar menakutkan. Kalau lo paksa untuk kerja hari ini, apa kata temen-temen lo di sana hah? Apa lagi siapa tuh, Rosa. Iya, Rosa yang mulutnya minta dijahit bolak-balik itu pasti seneng banget ngelihat lo yang mengerikan begini. Semakin berkoar-koarlah dia. Lo mau hal begitu sampai terjadi?”
Aku menggeleng cepat. Alasan Darlene benar juga. Wajahku yang mengerikan–yang sebenarnya tidak terlalu mengerikan menurutku, Darlene berlebihan banget–ini pasti akan menjadi santapan nikmat bagi Rosa. Perempuan medusa itu benar-benar berbahaya. Melihat sedikit saja keanehan yang terjadi di antara aku dan para penghuni kantor lainnya, bibirnya yang tipis dan lebar itu langsung bercicit ria. Menceritakan apapun kepada siapapun yang terlintas di otaknya, tak peduli apa yang ia katakan itu benar atau salah, dan parahnya walau banyak yang tidak menyukai aktivitas Rosa ini, tidak ada satupun yang berani menegurnya. Terang saja, karena ayahnya lah pemilik BarleyMint. Mana ada yang berani dengan putra pemilik tempatmu bekerja sih? Ya kecuali kalau memang mau resign cepat-cepat atau tidak betah di tempat kerja dan berbahagia bila dipecat, menantang Rosa bisa dilakukan untuk mempercepat prosesnya. Kerjaan perempuan medusa satu itu pun sebenarnya tidak penting-penting banget. Ia hanya diberi tugas oleh ayahnya untuk mengawasi kegiatan kami–para karyawan ayahnya–dan memastikan kami tidak bertindak melenceng selama bekerja. Padahal jika dilihat-lihat lagi, Rosa lah yang selalu bertindak melenceng.
“Mikir lama banget deh! Mana sini handphone lo, gue telepon kantor lo sekarang juga! Nungguin lo bergerak bisa ubanan duluan gue,” Darlene mencebik kesal sambil tangannya terjulur dengan gaya meminta yang tak sabar.
“Astaga! Bentar dong Mama Darlene, handphone sialan itu kan tadi gue banting ke...” Grasak-grusuk aku mencari iPhone yang kubanting di sekitaran dinding dekat tempat tidur tak mengindahkan seruan heboh Darlene yang menyebutku gila. Iya, aku gila. Gila karena cinta. Kok jadi alay?
“Nah!!” seruku gembira saat iPhone sudah ada di tangan.
“Heran gue bisa nggak rusak begitu, Al.” Darlene berdecak kagum saat kutempelkan benda persegi panjang itu ke telinga.
Beberapa menit kemudian akhirnya aku mendapat acc untuk izin satu hari dari kantor. Lalu setelah ini apa yang akan kulakukan? Berdiam diri di kamar dan meratapi nasib sebagai seorang selingkuhan yang gagal?
***
“Sekarang, lo mandi ya Darling dandan yang cantik. Gue nggak mau lihat lo duduk-duduk meratapi nasib sambil nangis-nangis mikirin cowok berengsek macem Ararya!” suruh Darlene dengan nada tak bisa dibantah setara seorang kapten memerintah prajuritnya. Tangannya menunjuk tepat ke arahku dan wajahnya memancarkan pandangan jijik. Yeah, ternyata keputusan untuk cuti nggak sepenuhnya membuatku ‘bebas’ dari body police macam Rosa. Darlene pun melakukannya, walau dengan cara yang berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Finding Mr. Right
RomanceUntuk apa kamu pertahankan ini semua kalau akhirnya kamu juga yang akan meninggalkan? Untuk apa kamu susah-susah kejar aku kalau kamu juga yang akan berlari? Untuk apa kamu bilang cinta kalau rasa itu sendiri sudah memudar? Alila menatap wajah di ha...