Aku membuka mata secepat yang kubisa saat kurasakan hawa dingin mulai menelusup masuk di bawah selimut. Menggeliat aku membetulkan posisi tubuhku yang sedikit merosot ke bawah, memastikan agar kepalaku masih berada di atas bantal. Segera kutepis bayang-bayang akan kegiatan yang telah kulakukan dengan pria yang sedari tadi kupunggungi ini yang pada kenyataannya dibalik selimut yang menutupi tubuh kami sekarang, tidak ada satu pakaian pun yang melekat layaknya seorang anak bayi yang baru keluar dari rahim ibunya. Polos namun tidak suci.
Kurasakan wajahku memanas. Percintaan yang kulakukan ternyata tak dapat dilupakan begitu saja karena Javas memperlakukanku layaknya aku adalah kristal mahal. Dia begitu memuja tubuhku, mengucapkan namaku dengan suaranya yang dalam dan serak yang entah mengapa membuat tubuhku gemetar. Rasanya lelah saja tak cukup menggambarkan bagaimana keadaanku sekarang. Tak ada lagi rasa ketakutan, was-was, dan perasaan bersalah lainnya. Aku merasa bebas namun hampa sekaligus. Perasaan dibuang digantikan nafsu murni kebutuhan manusia belaka.
Ragu-ragu aku membalikkan tubuhku. Mencoba untuk menghadapi wajahnya dalam gelap malam yang hanya diterangi oleh cahaya bulan yang dengan berani masuk melalui jendela kamar yang memang tidak pernah kututup gorden. Seperti apa wajahnya saat ia tertidur? Apa seperti seorang anak kecil yang innocent atau ia tetap menjadi seorang Javas? Terlihat menggebu-gebu dan sangat amat maskulin?
Cahaya bulan menembus masuk lapisan seprai di sampingku. Tidak ada wajah innocent atau wajah maskulin di sana. Hanya seprai yang nampak kusut seperti telah digunakan. Batinku berteriak tak terima namun suara dalam otakku menenangkan bahwa seperti inilah kehidupan. Terkadang jangan terlalu menaruh harapan pada hal yang jelas-jelas tak kasat mata.
Javas menghilang begitu saja. Mengitarkan pandangan kucoba untuk memindai seluruh benda yang terdapat di dalam kamar. Sakelar lampu yang terdapat di samping tempat tidur kutekan ke bawah. Sinar yang tiba-tiba saja masuk membuat mataku silau. Setelah beberapa saat, ketika pandanganku mulai fokus untuk melihat, aku sama sekali tak melihat keberadaan seorang pria yang baru saja tidur denganku. Pakaiannya yang dilempar asalan ketika tadi sudah tidak ada. Dan aku yakin dia pun bukan tipe seorang romantis yang ternyata sedang berada di dapur, menyiapkan toast dan segelas susu hangat untuk sarapan, karena jelas-jelas jam digital di atas nakas menunjukkan pukul empat pagi.
Tak sengaja sebuah tawa lolos dari bibirku. Apakah nasibku selalu begini? Menjadi seorang yang tidak dipilih sama sekali?
Javas pergi begitu saja meninggalkan aku tanpa pamit. Dan sudah jelas, bahwa seorang pria yang baru kukenal dalam beberapa jam terakhir, akhirnya meninggalkanku juga.
Aku memang bukan seorang pilihan.
Gemetar aku mematikan kembali sakelar lampu. Mencoba menghabiskan beberapa jam ke depan untuk tidur kembali dan melupakan apa yang telah terjadi denganku saat ini. Masih banyak pekerjaan yang harus dihadapi pagi nanti.
***
Ponselku berdering nyaring, memaksaku untuk membuka mata dan memilih, mengangkat panggilan tersebut atau membanting ponselku jauh-jauh karena telah mengganggu tidurku. Matahari nampaknya sudah mulai tinggi karena punggungku yang menghadap jendela terasa hangat.
“Halo,” sapaku tanpa melihat ID penelepon yang tega-teganya mengganggu tidurku. Yeah, nyatanya memang aku memilih opsi pertama karena bisa saja telepon ini menyangkut pekerjaanku sebagai seorang digital marketing specialist di BarleyMint, salah satu perusahaan digital agency terbaik di Indonesia.
“ALILAAAAAAAA!!!”
Ow ow! Rasanya kupingku mau pecah. Teriakan khas di pagi hari yang hanya bisa dilakukan oleh wanita yang sejak tujuh tahun lalu mengikrarkan diri menjadi sahabatku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Finding Mr. Right
RomanceUntuk apa kamu pertahankan ini semua kalau akhirnya kamu juga yang akan meninggalkan? Untuk apa kamu susah-susah kejar aku kalau kamu juga yang akan berlari? Untuk apa kamu bilang cinta kalau rasa itu sendiri sudah memudar? Alila menatap wajah di ha...