Part 5

81 1 0
                                    

Aku menjejalkan sepotong roti isi selai kacang ke mulut dan bergegas menuju mobil, aku baru ingat kalau ditinggal Mama, Papa dan Kak Ega ke Surabaya, apalagi pelajaran pertama ada ujian ekonomi! Aku nggak belajar pula, terlalu lelah dan bahkan saat aku bangun iPod masih memutar lagu dan aku lupa mematikannya. Aku meng-gas mobil, saat lewat rumah keluarga Brahmantyo, mobil Mada masih terparkir rapi, kulihat Mikha menenteng gitar dan melihatku sekilas. Nggak ada waktu untuk memikirkan itu.

*****

Jam pulang sudah lewat 2 jam yang lalu tapi aku masih stuck di perpustakaan sekolah, mencari bahan referensi kegiatan ekonomi saat zaman Belanda dan Jepang menjajah Indonesia, toh ternyata IPS nggak semudah yang lain kira, sekali dapat tugas pasti karya tulis ilmiah dengan berbagai penelitian. Aku menghela napas dalam-dalam, ini buku ke-7 yang sudah kubaca, aku memutuskan untuk meminjam semuanya karena bingung sendiri yang mana yang harus dirangkum. “Banyak banget mbak” kata petugas perpustakaan yang mungkin umurnya lebih tua 5 tahun dariku, aku meringis. Setelah di cap sana-sini, akhirnya aku bisa membawanya pulang. Untung bawa mobil, gempor lah kalo naik bus bawa 7 buku sejarah yang minimal ada 200 halaman ini. Aku menghempaskan diri ke jok mobil, menarik napas dalam-dalam dan mulai menyalakan mesin. Satu, dua, tga, empat…k mau juga nyalaunci sebanyak 4 kali tapi mesin tak mau juga nyala. Aku mulai ketar-ketir sendiri, kuambil handphone dari dalam tas, “Ih pake mati segala lagi!” aku mencari charger, aku menepuk jidat, aku lupa mencabutnya dari stopkontak! Tubuhku terasa lemas. Aku keluar, mencari pak satpam. “Pak, mobil saya mogok” kataku saat melihat pak satpam yang sedang sibuk menulis laporan di buku besar “Waduh mbak, terus gimana? Saya nggak paham mobil..” katanya “Boleh pinjam telfon pak?” aku menunjuk telfon di meja dekat kopi nya “Boleh boleh silahkan” katanya, aku mulai memencet nomor Mama, nggak aktif, Papa dan Kak Ega juga “Astaga…” aku mengacak-acak rambutku “Oh iya..” aku ragu, tapi langsung memencet nomor itu, semoga nggak salah “Halo” jawab dari seberang “Mad? Mad tolong…” aku mulai menangis “Mit? Mit kamu dimana? Halo?” bodoh, tangisku makin hebat “Tunggu disana!” telefon terputus, “Mbak..” kata pak satpam seraya memegangi lenganku, bukan.. bukan karena mobil, tapi perutku serasa ditusuk ribuan jarum, perih…

Mobil itu datang, begitu pula sakit di perutku, makin parah. Aku lupa menaruh obat dimana, bahkan pak satpam juga membantuku mencarinya, nihil. “Mit!” aku mendengar suara Mada sayup-sayup, kurasakan tubuhku mulai ringan, “Mita!” dia memelukku “sakit Mad..” kataku lirih “Tahan ya, kita ke rumah sakit” katanya, tapi pandanganku menjadi gelap, kudengar Mada memanggilku, kemudian sunyi.

*****

Cahaya mulai masuk perlahan ke mataku, terlalu silau. “Mita..” suara siapa itu? Aku mengerjapkan mata, perlahan-lahan sebuah bayangan muncul “Hey..” itu Mikha! “Mik..” kataku, tenggorokanku perih sekali “Minum?” aku mengangguk, dia menyodorkan gelas dan mengambil sedotan, aku menyeruputnya sedikit, lumayan. “Gimana? Baikan?” tanyanya, wajahnya tampak khawatir “Aku kenapa?” tanyaku, tak lama Reuben dan Mada datang, disusul J di belakangnya “Hey Mita” sapa J, aku tersenyum “Kamu tadi pingsan, kata dokter maag kamu udah parah banget. Sekarang malah gejala tifus” jelas Reuben “obat itu dibawa kemana-mana, di tas, dimanapun. Kalo gini kan kasian kamu nya” kata Mada “Jangan marah-marah lah Mad, orang sakit ini” kata Reuben, suasana jadi aneh, wajah Mada dan Reuben seperti…. Marah? “Heh udahlah, dia lagi sakit. Kalo mau rebut lagi di luar aja” kata Mikha, ribut lagi? “hah ribut lagi? Kenapa kalian?” tanyaku, suasana menjadi sunyi “Nggak ada apa-apa kok, udah kamu istirahat aja ya” kata Reuben seraya menggenggam tanganku, Mada tiba-tiba keluar dari kamar. Reuben menunduk, “Aku nyusulin si Mada dulu” kata J dan bergegas keluar. Mikha dan Reuben terdiam “Ada apa sih?” tanyaku lagi, aku melihat Mikha, dia menggeleng, Reuben masih menunduk “Nggak usah dipikirin. Udah kamu tidur ya, kita jaga disini” kata Reuben seraya mengelus kepalaku.

Aku terbangun, jam 1 ternyata. Aku menoleh ke sofa, Mikha dan Reuben tertidur disitu rupanya. Sedangkan J tidur terduduk di kursi sebelah sofa, aku bermaksud mengambil air putih di meja saat kudengar seseorang mendekat ke kamarku dan membuka tidur, aku pura-pura tidur lagi. Dia berjalan mendekat, dan menggenggam tanganku “Hey Mit..” katanya lirih, astaga.. dia terdiam cukup lama. “Maybe I’m not a guy who always make you smile, not me…” aku diam, jantungku terasa seperti berdentum hebat “But…” dia terdiam lagi, kudengar suara berisik dari sofa “Eh Mad, darimana?” ternyata Mikha bangun “Dari kantin tadi, sekalian bawain kalian makan malem” aku memberanikan diri membuka mata “Eh kok bangun?” tanya Mada “hehe, tenggorokan sakit..” dia mengambilkan minum “Hobi banget malem-malem kayak gitu, jangan ngintip terus” aku hampir tersedak mendengarnya, jadi selama ini… dia tertawa “I saw you” katanya, aku hanya bisa tersenyum tipis “Maafkan kalau kepo” dia menggeleng “Nope, lebih suka gitu”, kurasakan tiga cowok di sekitar kami kebingungan dengan pembicaraan diantara aku dan Mada “Yaudah deh kita makan dulu” kata J seraya membuka bungkusan makanan dari Mada.

Sudah terdengar adzan subuh tapi aku belum bisa tidur juga, dari tadi mendengarkan lagu-lagu dari iPod punya Mikha karena punyaku lowbatt. Lagu John Mayer dengan Gravity berakhir, “Hai Mita..” deg, aku terdiam. Kulihat semuanya sudah tertidur pulas, apalagi Mada yang tidur di kursi sebelah tempat tidurku, aku mengecilkan volume. “Ini Mikha, hmm susah ngomonginnya. Mending lewat lagu aja ya haha” aku masih mendengarkan rekaman ini, suara petikan gitar terdengar “This morning I woke up beside the river, the grass and trees were green, flowers began blooming and birds is sweetly singing…” aku mendengarkan seksama sampai lagu itu selesai. “My heart is yours Mita, only yours. At first sight…” deg, aku jadi makin sesak bernapas, kumatikan iPod. “Mad…” aku menggoncangkan tangan Mada, dia terbangun “Mit kenapa?” “Sesek ini…” Mada memencet tombol darurat “J, Mik, Gi bangun!” teriaknya, mereka serentak bangun dengan ekspresi terkejut “Loh si Mita kenapa?” tanya Mikha seraya menghampiriku, dia mengecek iPodnya “Mit…” katanya lirih, aku mencoba tersenyum “Permisi, silahkan keluar dulu” kata suster dan mereka pun keluar.

*****

Aku sudah di bandara, nekat sih, bahkan nggak ada yang tau. Tiket tujuan Surabaya sudah di tangan, semoga ini benar. Ternyata teman baru menimbulkan efek baru juga. Semua berputar-putar dalam otakku. Handphone ku bergetar, Mada. “Halo?” jawabku “Kamu dimana? Baru sehari keluar dari rumah sakit udah pergi aja” katanya “Haha, mau nyepi dulu. Bye Mad” jawabku segera, aku menarik koperku, beranjak dari tempat itu.

 

When You Love SomeoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang