Part 6

75 1 0
                                    

Aku menghempaskan tubuhku ke tempat tidur, hmm aku menyepi di hotel, tapi semuanya tau, Papa, Mama dan Kak Ega. Mereka juga lagi di Madiun, ziarah ke makam Eyang Kakung disana. Lagu Autumn Leaves milik Ed Sheeran bersenandung “Haloooo” jawabku “Dek udah nyampe?” Kak Ega ternyata “Udah kok udah.. dimana nih?” “Kayaknya nginep deh, Papa keasyikan ngobrol sama temen lamanya, mana mungkin pulang sore gini? Pegel juga” celoteh Kak Ega “Okelah oke. Ati-ati, jagain tuh Papa Mama” “Aduh iya nenek, bawel. Gapapa nih sendirian? Mau kemana emang?” “Hmm nggak tau…. Enaknya ngapain? Tidur kali kak” “Halah kebo. Yaudah tidur gih. Bye, ati-ati” “Yoy!” aku menutup telfon dan terlelap.

*****

“Cause I’ll remember every sunset, I’ll remember every words you said. We will never say good bye..” aku mengerjapkan mata, alarm ku berbunyi. “Hah jam 7….” Aku mengucek-ngucek mata, berharap nyawa segera kumpul. Ku cek handphone, 10 missed call, Mada, Kak Ega dan Reuben. 4 messages, Mikha. Aku menggeleng lemah, bodo. Sepertinya renang enak nih….

Segelas jus melon nampaknya cocok sehabis renang, aku meneguknya setengah, hape ku bergetar. Mada. “angkat ga ya…” aku menggigit bibir bawahku, ah! “Halo” “Kamu dimana?” tanyanya “Hmm ada deh, kepo” jawabku ketus “Astaga, jangan bikin khawatir deh. Telfon nggak diangkat, telfon balik lah” “Duh Mad aku mau makan, bye” aku langsung menutup telfon, toh tetap saja dia jadi ‘hantu’.

Suasana toko es krim ini nggak berubah, aku begitu suka. Dengan kursi-kursi rotan yang khas, dan bangunan yang hanya diganti cat nya, entahlah aku suka sekali tempat ini. Dulu biasanya tiap hari Minggu kesini sama Papa, Mama dan Kak Ega. “Pesan apa mbak?” tanya pelayan yang datang, tanpa membuka buku menu, “Banana split ya mbak” kataku yakin. Suasana lalu lintas Surabaya nggak terlalu rame, yah namanya juga hari kerja. Handphone ku bergetar lagi, Mada. “halo” “Pake kaos warna abu-abu, cardigan putih” aku melihat pakaianku, benar! Jangan-jangan…. “Hey” tiba-tiba Mada sudah ada di sampingku “Nah ya mirip setan” kataku otomatis, dia tertawa “Hahaha jahat ya bilang kayak gitu… miss you” aku menunduk, duh udah dong… “Permisi, banana split nya” kata pelayan itu “Tambah satu lagi ya mbak” kata Mada dan duduk di sampingku, “Jadi… ngapain kamu nyepi kesini?” tanyanya, tanpa basa-basi, aku terdiam, menyendok asal es krim ku dan melahapnya “Mita…” suara Mada mulai berubah jadi lirih, haduh… “apa sih?” tanyaku “Jawab bisa kan?” tanyanya lagi, aku menghembuskan napas, kesal. “Nggak apa-apa, cuma kangen aja ama Surabaya” jawabku, gantian dia yang diam “Dan kamu harus ya nyusul?” tanyaku, dia tersenyum “ada yang ilang, harus ditemuin” jawabnya, dan aku merasakan detak jantung tak beraturan, berdentum “Halah” aku membuang muka, dia tertawa “So, I’m here. Masa ya baru nyampe balik lagi? Ajakin keliling ya” katanya, duh makin gondok rasanya “Hmm iya…” dia mengacak-acak rambutku dan melahap es krim nya.

Kami sudah berada di salah satu museum, di pusat kota. Dia berdecak kagum, “Arsitektur nya keren” komentarnya, yah yah aku mengangguk dan menahan tawa “Ih kenapa?” aku tak bisa menahan “Hahahaha!” aku tertawa terlalu keras dan beberapa orang menoleh ke arah kami, Mada berkacak pinggang dengan wajah pura-pura marah “Duh tau anak arsitek” kataku dengan sekuat tenaga menahan tawa, dia tertawa “Hahaha maklum kebiasaan” katanya seraya tersenyum “You’re better with that smile” kataku, kami terdiam dengan senyum awkward di wajah kami “Haha yaudah lanjut” katanya dan menggandeng ku berkeliling. Saat kami melihat senjata-senjata yang digunakan untuk perang jaman dulu, seorang bapak-bapak menepuk pundakku “Mbak bisa minta tolong?” tanyanya seraya tersenyum canggung “Boleh pak, apa ya?” tanyaku, dia menyodorkan kamera digital kepadaku “Tolong foto in saya sama istri saya” katanya seraya menunjuk istrinya yang berdiri di sebelah sebuah patung dan tersenyum padaku “Oh boleh-boleh kok pak” bapak itu tersenyum lebar “Mas, pacarnya saya pinjam dulu ya” aku terhenyak, aku menoleh kearah Mada, dia tersenyum geli dan mengangguk. setelah beberapa kali foto bapak itu memanggil Mada “Mas, sini. Saya mau foto kalian berdua boleh?” aku mengernyitkan dahi “Loh buat apa pak?” tanyaku “Wajah kalian sama, entah kenapa saya suka aja sama pasangan yang wajahnya hampir sama. Kamu juga mirip anak saya yang lagi kerja di Belanda” katanya “Haha aduh pak sama darimana nya?” “Haha, jodoh kali pak” celetuk Mada yang sukses membuat ku terdiam. Kami setuju, bapak itu mengambil foto kami. Tangan Mada merangkul pundakku “Smile” bisiknya yang membuatku tertawa “Makasih banyak ya mas, mbak. Senang bisa ketemu kalian” aku merasa terharu “Sama-sama pak. Jadi nggak enak gini kalo bapak ngomong kayak gitu, lain waktu semoga bisa ketemu lagi” kataku, bapak itu mengangguk. “Jadi, pacar?” goda Mada, langsung kusikut perutnya “Aduh! Ah tega ini, sakit tau” aku tertawa dan meninggalkan Mada yang masih memegangi perutnya.

Senja sudah menampakkan kuasanya, langit berubah jadi jingga. Kami duduk di balkon kamar hotel ku “Keren juga disini” komentarnya “Yah seenggaknya nggak se sumpek Jakarta, ada rasa tersendiri disini” jawabku “Well, crap traffic jam. Hate it. Mybe, we’ll move to Denver or London soon” aku menoleh “Heh” kataku “Nggak usah aneh-aneh kalo ngomong Mad…” tangannya menggenggam tanganku. “Seriously, I love you Pramita” katanya, aku menunduk, bener-bener nggak mau liat wajahnya, matanya. “Mit” dia menarikku ke dalam pelukannya, Gosh! “I make much mistakes. Sorry. Sorry” katanya, sungguh tidak lucu kalau dia mendengar detak jantung yang tak karuan “Ngapain maaf” kataku, singkat “Jangan tanya kayak gitu,yang ada malah jadi nggak enak aku” katanya, kami terdiam “Well, I can’t answer it Mad. Complicated” jawabku, dia melepas pelukannya “No prob, just slow down. Let it flow right?” katanya seraya tersenyum, aku mengangguk.

When You Love SomeoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang