"Jam tujuh ya, Mbak?"
"Iya, sudah saya catat dalam daftar antrian, Bu."
"Oke. Thanks ya."
Sambungan diputus.
Helena menghela nafas panjang. Ia membuka buku catatannya. Ada tiga janji dengan client hari ini. Pertama, jam sepuluh pagi dengan seorang wanita lima puluh tahun yang stres akibat ditinggal anaknya mengenyam pendidikan di luar negeri. Kedua, jam satu siang dengan seorang gadis yang sempat mencoba bunuh diri karena pacarnya selingkuh. Terakhir, jam empat sore dengan seorang direktur perusahaan batu bara yang nyaris gila saat mengetahui bahwa perusahaannya terlilit hutang dalam jumlah cukup besar.Ah, semoga bisa selesai sebelum jam tujuh, batinnya.
🎠🎠🎠
"Iya, Bu. Saya sudah di depan rumah Ibu. Pagar hitam dan cat kuning pastel, kan?"
Helena mengecek penampilannya di kaca kecil yang selalu ia bawa di dalam mobil. Blazer abu-abu tanpa kerut, maskara terpasang rapi, dan rambut hitam ber-highlight burgundy-nya dibiarkan terurai. Ia memakai stiletto abu-abunya, mengambil tas kerjanya di bangku belakang.
Klik!
Mobil telah terkunci sempurna.Helena berjalan dengan langkah tegap. Angkuh, cepat, namun tidak terkesan tergesa. Ia menekan bel dua kali.
Ting! Ting!
Seorang ibu berdaster dengan lap tersampir di bahu membukakan pintu gerbang untuk Helena.
"Bu Helena, ya? Ibu sudah menunggu di teras belakang. Mari, saya antar."
Pembantu rumah tangga bertubuh subur itu--Bi Sum, mengantarkan Helena sambil sesekali mengajaknya bicara. Bertanya ini-itu, memuji penampilan Helena, hingga membicarakan harga bawang merah yang melesat naik.
"Duh, ampun ya, Bu Hel. Bibi ini pusing mikirin harga bawang merah! Lama-lama bisa seharga daging! Wah, payah ini."
Helena tertawa kecil. "Panggil Helena aja, Bi! Bibi harus bangga dong, harga naik tapi tetap bisa beli. Berarti Bibi ini termasuk sejahtera! Iya, kan?"
Helena memang sangat berbakat dalam menangani masalah psikologis, mulai dari yang sepele hingga yang kompleks.
"Bu Wardi tinggal sendirian di sini?" tanya Helena.
"Iya, Bu Hel. Eh... Helena. Aduh saya ngerasa kurang ajar, Bu Hel. Bapak sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Tapi anaknya Ibu yang di Bandung sering datang ke sini sama suami dan anaknya. Terus adiknya Ibu juga sering nginap di sini. Jadi ga terlalu kesepian. Pembantu di sini juga ada dua, sama supir satu. Lumayan, lah, nemenin Ibu," celoteh Bi Sum.
Helena mengangguk-angguk.
Sepertinya Bu Wardi adalah client yang menarik.🎠🎠🎠
"Main ke sini lagi, ya, Helena! Saya sama Bi Sum pasti seneng banget!" ucap Bu Wardi saat Helena pamit pulang. Bu Wardi dan Bi Sum mengantarkan Helena hingga ke gerbang depan, kemudian melambaikan tangan mengiringi mobil Helena yang menjauh. Helena tersenyum lebar melalui kaca mobil yang ia turunkan.
Ia melirik arloji perak di pergelangan tangan kirinya. Pukul dua belas lebih sepuluh menit.
Handphone Helena berdering.
Ternyata Raline--client kedua, yang menelepon.
"Iya, saya udah jalan ke sana kok... Oke, see you!"Helena memijit ringan kepalanya yang mulai berdenyut.
🎠🎠🎠
"Raline?" Helena menyapa seorang gadis yang tampak sesuai dengan ciri-ciri Raline: atasan lengan pendek berwarna hitam, jegging putih, slip-on hitam, dan rambut kucir satu.
Gadis itu mendongak, menatap Helena yang masih berdiri. Matanya tampak sembab, lingkaran hitam menaungi bagian bawahnya. Bibirnya pucat.
Ia tersenyum sekilas. "Kak Helena? Duduk, Kak. Aku Raline."
Helena duduk di hadapan Raline. Raline adalah gadis yang cantik, di balik seluruh kesenduannya hari ini.
Hingga dua jam percakapan mereka, Helena belum mengerti apa yang memicu Raline untuk bunuh diri--selain cinta tentunya. Ia cantik, terlalu cantik untuk ukuran anak SMA. Badannya proporsional, pemilihan katanya dalam berbicara sangat cerdas, dan ia sangat ramah. Helena yakin, tentu banyak lelaki yang mengantre untuk menjadi pacar Raline.
Cinta memang buta, batin Helena.
🎠🎠🎠
Helena memasuki kompleks perkantoran megah dengan langkah tegapnya. Seharian berjalan di atas stilleto tidak membuat kakinya pegal sama sekali. Ruangan Pak Wardoyo ada di ujung lorong, tapi Helena berbelok menuju toilet.
Ia duduk termenung di dalam salah satu bilik. Wajahnya lesu. Kepalanya semakin nyeri.
"Be okay, Girl," katanya di depan cermin.
Lima menit kemudian ia sampai di ruangan Pak Wardoyo.
"Helena! Saya sudah menunggu dari tadi. Mari silakan duduk, saya sudah tidak sabar untuk bercerita!"
🎠🎠🎠
"Darling just swear you'll stay, right by my side...."
Reminder Helena berbunyi tepat pukul tujuh kurang sepuluh menit. Ia sudah tiba di depan sebuah bangunan bercat hijau pastel, dengan sebuah plang besar bertuliskanOlly Ananta, M. Psi.
PsychologistHelena memasuki pintu utama dan disambut oleh dinginnya AC. Sekali lagi ia memijit kepalanya yang makin berdenyut.
"Helena Leiman." Seorang petugas memanggil namanya. Helena bergegas memasuki ruangan Olly.
"Malam, Mbak Helena," sapa Olly hangat.
"Malam, Bu. Saya butuh konsultasi. Kepala saya makin terasa berat. Saya bingung harus gimana. Saya bingung harus cerita ke siapa!" Emosi Helena mulai naik.
Olly mencoba menenangkan. "Sssh, coba ceritakan perlahan."
"Bu, Ibu tau kan kalo saya ini seorang psikolog! Saya malu sama diri saya sendiri! Saya bisa menenangkan orang lain, bisa mengatasi problem psikologis orang lain, tapi keadaan saya sendiri begini! Saya... saya capek!"
Olly menyodorkan segelas teh hangat.
Helena menyesapnya perlahan. "Kemarin malam, sekali lagi saya mencoba bunuh diri. Saya capek dengan semua ini."
🎠🎠🎠
a/n
HAYOOO SIAPA YANG NUNGGUIN CERITA BARU DI WAITING ROOM? *hayo ngaku* *taunya ga ada* *...*
Thanks buat yang udah baca, ily xx
What I'm going to tell is, nobody's perfect! Liat Helena dengan segala kesempurnaannya, karirnya sebagai psikolog yang dicari client untuk konsultasi, ternyata... (hayo siapa yang ga beneran baca! lol)
See you on my next work!♥-ohjuliette
11:59
KAMU SEDANG MEMBACA
Sendiri
Short StoryKUMPULAN CERITA PENDEK enjoy reading! ♥ © 2016 by ohjuliette