PROLOG

66 7 0
                                    

Lampu temaram di tengah ruangan itu bergoyang pelan. Memunculkan bayang-bayang seram saat kegelapan membungkus seisi rumah. Ada degup ketakutan yang nyaris membuat jantung ini mencelat dari tempatnya.

Suara gesekan logam itu terdengar lagi dari lantai bawah. Kali ini diikuti oleh bunyi langkah kaki berdecit. Aku hampir balik badan dan hendak kembali ke kamar saat kudengar pekikan kecil di lantai bawah.

Suara Natly!

Terdengar lemah. Kesakitan. Timbul tenggelam bagai di ambang batas kematian. Aku membatalkan niat untuk kembali meringkuk di kasur dibungkus selimut menggulung tubuh seperti kepompong. Setelah menarik napas banyak-banyak, aku mengusap dada demi memompa keberanian. Kuambil senter dari dalam laci lalu melangkah kembali menuruni tangga.

Rumah tingkat ini terbilang kuno dan sangat tidak elegan di mataku. Pertama kali aku dipaksa, benakku langsung meletupkan rasa tidak suka. Ada suatu hal ganjil yang kurasa menyelubungi rumah ini. Ini rumah Natly dan aku tak punya kuasa untuk tidak menemaninya tinggal di sini, meski dengan sangat terpaksa.

Aku mengendap turun, memasang kuping baik-baik. Kudapati suara itu dari kamar tepat di bawah kamarku di lantai dua. Samar kudengar kembali erangan lemah, kali ini menyebut namaku terpatah-patah.

"Nerra..."

Aku terhenyak. Bergegas menghampiri pintu dan membukanya. Terkunci.

"Nat, lo di dalem?"

"Nerra..."

"Nat, ini seriusan nggak lucu. Kok dikunci?" Aku berusaha memutar kenop tetap saja gagal. "Lo kenapa? Ngapain lo di dalem?"

Terdengar jeritan lagi, disusul suara papan bergeser.

Aku berdecak. Dengan mengumpulkan seluruh sisa tenaga yang ada, kutendang pintu kencang-kencang, berkali-kali, hingga menjeblak terbuka. Bergegas masuk, namun yang kudapati hanyalah kekosongan. Nihil. Tak ada siapapun.

"Nat, lo dimana?" sahutku sambil celingukan memandangi seisi kamar.

Sayup masih kudengar suara itu, namun rasanya semakin jauh. Batinku mulai mengirimkan sinyal kecurigaan. Ada yang nggak beres di sini..

"Natly, lo dimana?" panggilku berulang-ulang.

"Kakak lo udah tamat."

Aku terkesiap mendengar suara berat itu. Saat membalikan badan, kudapati sebuah pentungan besi terayun kencang, siap menyambar kepalaku. Dalam gelap yang terasa kian mencekam, satu yang dapat kupastikan, sosok yang kini berdiri di hadapanku dalam balutan jubah dan topeng seram adalah jawaban atas keanehan sejak kali pertama kakiku menjejak di lantai rumah tua ini..

TWI(N)IGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang