Makassar, sepuluh tahun yang lalu..
Apa rasanya saat engkau pertama kali memandang cermin dan mengenali struktur wajah, ternyata wajahmu mirip dengan orang yang paling engkau benci?
"Mama...!"
Pekikan Natly sore itu mengalahkan suara debur ombak yang sayup terdengar di belakang rumah. Mama yang sedang memasak sup ikan kesukaan Papa di dapur, bergegas ke ruang teve, tempat aku dan Natly duduk berhadapan di atas lantai beralaskan karpet bulu. Aku memandanginya dengan sorot mata dingin, kesal dan puas bercampur jadi satu.
"Ada apa lagi, sih? Mama lagi repot masak, nih. Papa bentar lagi pulang kerja." Mama menghampiri Natly kecil yang masih terisak-isak, membelai rambutnya dengan penuh kasih. "Kamu kenapa, sayang?"
"Liat tuh, kelakuannya Nerra. Boneka kesayangan aku dirusak!"
Kedua manik mata Mama seketika menggelap saat mengikuti arah telunjuk Natly. Seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya, mulut Mama sampai ternganga.
Tak jauh dari lututku, berserakan boneka barbie kesayangan Natly. Mayat boneka barbie tepatnya. Tubuh malang boneka itu tercerai berai, termutilasi dengan kejam. Bahkan ada ceceran merah seperti darah segar, padahal itu cuma siraman saus tomat.
Mama tampak semakin shock saat melihat benda yang masih kugenggam. Sebilah pisau cutter!
"Nerra!"
Aku mengaduh keras saat Mama menepis tanganku hingga pisau itu terlepas dari genggaman dan terlempar menabrak sofa. Bagai kecepatan singa, jemari lentiknya hinggap di lenganku dalam bentuk cubitan semut.
"Aduh, Ma! Sakiiiit!" jeritku.
"Kamu apain boneka Natly? Kamu dapat pisau itu dari mana!?" bentak Mama.
"Dari meja kerjanya Papa. Emang kenapa? Orang Natly duluan kok.."
"Diem!" Mama memutus pembelaanku. "Kamu itu ya, makin lama makin kebangetan! Nggak pernah ada kapok-kapoknya!"
"Ma! Natly duluan yang mulai!" Aku berdiri dengan amarah menggelegak. "Komik buatanku dirobek-robek sama dia. Itu komik buat lomba, Ma! Emangnya nggak capek bikin komik sebanyak itu!"
"Boong, Ma! Orang aku cuma lihat sebentar. Dianya aja yang pelit, nggak sabaran. Akhirnya dia rebut dan jadi sobek," sahut Natly di sela isakannya.
"Sialan banget lo ya, Nat!" bentakku.
"Nerra!" tangan Mama kembali terayun, kali ini mendarat di mulutku dalam bentuk tamparan. "Lama-lama kamu tambah kurang ajar, ya! Jaga kata-kata kamu sama kakak sendiri!"
"Aku nggak sudi punya kakak licik kayak dia!" seruku.
Muka Mama makin merah padam. "Nantang kamu, ya!"
Bagai banteng kesurupan, Mama menyeretku paksa meski aku memberontak hebat. Sesekali cubitannya hinggap di kulit, namun aku tak peduli. Mama menyeretku jauh menembus dapur dan berhenti di depan pintu gudang yang letaknya persis di belakang rumah. Sayup kudengar bunyi hempasan ombak dan burung-burung laut.
"Kamu perlu dihukum!"
Dengan sekali sentak, Mama membantingku masuk dan mengunci pintunya dari luar. Tak dipedulikannya aku yang menjerit ketakutan, meronta minta dibukakan.
* * *
Aku benci Natly. Sangat.
Entah sudah kali ke sekian ribu aku mengucap kata-kata itu. Meski wajah kami serupa, bahkan mendekati kembar, usia kami hanya terpaut satu tahun. Seharusnya kami memiliki kedekatan emosi yang intens, namun nyatanya, aku dan dia bagaikan Batman dan Joker yang tak hentinya menghunus peperangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWI(N)IGHT
Mystery / ThrillerNerra dan Natly adalah dua bersaudara yang cuma terpaut usia satu tahun. Meskipun tidak dilahirkan di waktu yang sama, wajah keduanya seperti kembar. Sayang, keduanya saling membenci melebihi permusuhan kucing dan anjing. Natly, sang kakak yang sela...