Seiring berjalannya waktu, Jeny bukanlah lagi seorang anak-anak, ia mulai menginjak remaja, dengan segudang prestasi piano diraihnya. Tetapi, ia belum puas sampai disitu, ia masih ingin meraih cita-cita yang lebih tinggi di bidang piano.
Seorang pencari bakat yang kebetulan sedang berada di Afrika untuk berlibur mengetahui bakat yang ada pada diri Jeny. Ia pun berusaha menemui Jeny dan ingin berbicara dengannya.
Sang pencari bakat menyarankan agar Jeny mengikuti pencarian bakat di Amerika, agar ia dapat mengasah kemampuan memainkan pianonya.
Sang pencari bakat pun memberikan formulir pendaftaran yang harus diisi oleh Jeny untuk mengikuti audisi tersebut.
Jeny berkata," Aku harus memikirkan ini matang-matang sebelum mengambil langkah besar dalam dunia hiburan. Aku akan bertanya kepada ayahku terlebih dulu."
Sang pencari bakat menjawab," Jam 05.00 sore, temui aku di bandara untuk mengantarkan formulir ini, dan kau akan ikut bersama-ku mengikuti ajang tersebut. Aku akan menjadi sahabatmu dalam perjalanan menuju New York. Kau tidak akan tersesat ketika disana, karena akan ada aku. Bila kau tidak datang, itu berarti kau menyia-nyiakan peluang. Aku melihat bakat yang luar biasa ada pada dirimu. Itu tidak dapat disembunyikan. Semua orang pantas mendengarkan itu. Mengerti?"
Jeny hanya menjawab,"Aku akan memikirkan hal ini baik-baik."
Selama seminggu, Jeny terus memikirkan hal tersebut. Ia bingung, antara harus tetap disini, di Afrika, memainkan untuk dirinya sendiri, atau menunjukkan kemampuan luar biasa itu kepada khalayak umum.
Dan, di hari yang ditentukan, sudah pukul 01.00 ,ia masih bingung. Ia pun akhirnya memutuskan bertanya kepada ayahnya yang sedang terbaring sakit ketika itu.
Jeny berkata,"Ayah, aku mau bicara sesuatu sama ayah."
"Mau bicara apa?" timpal sang ayah.
"eehh..eh...Hari itu, aku ketemu sama pencari bakat, dia ngasih aku formulir pendaftaran untuk ikut sebuah pencarian bakat."
"Kalau itu yang kau mau, jangan putus asa dalam meraihnya. Sekarang, siapkan barang-barangmu, susul dia ke bandara, pergilah ke New York!" pinta sang ayah.
"Tapi.." lanjut Jeny.
"Sudah...jangan pikirkan ayah! Ayah akan baik-baik saja di rumah. Kejarlah mimpimu!" tegas sang ayah.
"Baiklah, ayah!" jawabnya.
Ia pun segera menyiapkan barang-barangnya, dan segera bergegas menuju bandara. Waktu hampir menunjukkan pukul tiga, hatinya pun berdebar-debar menunggu hal yang sudah ditunggu-tunggunya, mengejar mimpinya sebagai seorang pianis.
Beberapa waktu berlalu, akhirnya ia tiba juga di bandara. Ia berlari menuju terminal keberangkatan. Sementara, si pencari bakat sudah menunggu kedatangan Jeny, namun karena ia belum datang-datang juga, ia pun akhirnya meninggalkan Jeny, tanpa mengetahui bahwa sebenarnya Jeny sedang berlalu menujunya.
-to be continued-
KAMU SEDANG MEMBACA
Pianist
Non-FictionHidup adalah sebuah perjuangan. Ini merupakan salah satu kisah dari perjuangan itu.