Heartbreak to Stranger

59 3 1
                                    


"Gue suka sama lo, Fat." Tukas Feisya sepihak, membuat percakapan terhenti begitu saja.

Lelaki di depannya tak memberikan reaksi spesial. Hanya rahangnya yang menegang membuat Feisya kalut. Tangannya mengepal keras pertanda tidak suka.

"Fat?" Tak ada jawaban. Namun tangannya yang tadi mengepal segera mengulur meraih segelas air di depannya, berusaha menghilangkan ketegangan yang tercipta. Sedangkan Feisya menunjukkan gelagat tak tenang. Dia menelan ludah dengan susah payah, oh Tuhan.

"Sejak pertama kali ketemu lo di panti, gue udah ngerasain sesuatu yang beda sama lo. Gue gatau kenapa, tapi gue selalu pengen jagain lo, lindungin lo, selalu ada di deket lo. Lima tahun kita temenan Fat, gue bisa liat dan tau cara pandang lo ke hidup, cara lo bertahan dari semua masalah, cara lo tegar, semuanya. Dan gue notice kalo lo itu spesial. Dan gabisa gue sangkal lagi, gue sayang sama lo."

Hening. Dingin. Hanya itu yang Feisya rasakan. Setelah penjelasannya tadi, tak ada yang berubah. Raut muka Fata sangat kusut, terlihat ogah-ogahan melanjutkan percakapan ini.

"Gue udah sering nemuin cewek kaya lo, Fei. Ribuan. Tentang perasaan lo ke gue, asal lo tau aja, rasa itu gapernah benar-benar ada di hati lo. Kalaupun ada, itu bukan rasa sayang, lo cuma kasihan sama gue. Dan nggak lebih dari itu. Gue emang sememprihatinkan itu ya, Fei, sampek banyak orang yang iba dan simpatik ke gue, hm?"

Feisya mulai gusar. Sekujur tubuhnya lemah. Perkataan Fata benar-benar tak dapat ia terima.

"Gue nggak sama kaya cewek-cewek itu" lirih Feisya. Yang ditatapnya sekarang tersenyum.

"Gue emang nggak punya apa-apa, gue serba kekurangan. Tapi gue punya hati, Fei. Please hargain gue. Jangan mengatasnamakan rasa sayang kalo sebenernya lo cuman kasian sama gue. Sorry, kalo lo gasuka sama omongan gue, tapi emang itu kenyataanya. Gue cuma gamau terluka untuk kesekian kalinya. Udah cukup beban hidup yang harus gue bawa, jangan lo tambah dengan perasaan lo itu."

"Jadi selama ini gue cuma nambah beban hidup lo, Fat? Selama ini gue cuma parasit, kan?" ucap Feisya dengan nada serak, sambil memperhatikan Fata yang memalingkan muka ke jendela.

"Gue gak maksa lo buat punya perasaan yang sama ke gue, Fat. Ga pernah. Maksud gue cuma mau bilang kalo gue sayang sama lo. Gue tulus, bukan kasian." Kali ini suaranya meninggi.

Tak ada respon sama sekali.

"Gue tau sifat lo udah dari lama. Lo pasti punya alasan lain, iya kan?" Feisya emosi. Dia salah bicara. Dia tidak bermaksud menuduh Fata, tapi dia hanya ingin memastikan. Fata tidak mungkin bersikap seperti itu. Pasti ada sesuatu.

Setelah itu tangan Fata tergerak menghantam meja dan langsung berlalu, meninggalkan Feisya dan air matanya.

Di Jalan yang gelap, yang hanya dihiasi cahya lampu temaram, Feisya berjalan lemah. Tak ada lagi semangat. Ia membenarkan letak syalnya dan memeluk tubuhnya sendiri. Dingin. Angin malam terus saja menggelayuti tubuhnya. Air matanya terus mengalir tanpa suara. Dia terus berjalan tanpa arah, tanpa tujuan. Sampai dia melihat pergerakan samar di ujung jalan. Sesekali ada suara rintihan. Feisya mengusap pipinya yang basah sedari tadi dan perlahan mendatangi asal suara. Langkahnya sangat pelan, takut-takut kalau suara itu berbahaya.

Feisya sampai di ujung jalan, di sebelah pot besar, ada seorang lelaki terbaring lemah. Penampilannya tak karuan. Pakaiannya lusuh dan robek-robek. Banyak sekali luka di sekujur tubuhnya. Wajahnya didominasi memar biru. Ujung bibirnya terlihat sedikit robek. Begitupun pada beberapa bagian tubuhnya yang dipenuhi darah yang tak bersih. Yang jelas, lelaki itu sedang tidak baik-baik saja.

Feisya panik seketika. Jelas dia tak terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Napasnya sesak, keringat dingin membasahi pelipisnya, pening di kepala mulai menyerang. Angin malam seakan bercampur dengan percikan api lalu menerpa dirinya. Tangannya terus memegangi dadanya yang begitu tercekat. Namun, melihat lelaki dalam keadaan seperti itu, Feisya harus cepat bertindak, tak peduli seberapa besar sakit yang ia alami saat ini.

Feisya bersimpuh di samping tubuh lelaki itu. "Lo kenapa? Lo bisa denger gue nggak?" tanya Feisya terengah-engah sambil menepuk-nepuk pipi lelaki itu. Lelaki itu tampak mengerjapkan matanya perlahan, setengah sadar. Itu membuat Feisya sedikit lega. Setelah itu Feisya segera menelpon ambulans.

"Lo tahan ya, bentar lagi ambulans dateng. Gue mau beli air buat bersihin luka lo." Ucap Feisya sambil berlalu secepat mungkin. Beberapa menit setelahnya, dia kembali dengan dua botol air mineral berukuran paling besar. "Tahan ya, mungkin ini bakal agak sakit. Tapi ini biar lo gak infeksi." Ujar Feisya sambil mengalirkan air ke luka lelaki itu. Sesekali lelaki itu merintih kesakitan, yang kemudian diikuti ucapan maaf dari Feisya. Sesudah itu, Feisya mengambil syalnya dengan segera dan dibalutkannya ke lengan lelaki itu karena darah segar terus mengalir dan tak mau berhenti, sedangkan ambulans entah kenapa tak kunjung datang.

"Lo kenapa kayanya parno gitu ngeliat gue?" tanya lelaki itu tiba-tiba. Suaranya terdengar sangat lirih. Feisya terdiam, enggan menjawab. Namun kemudian suara sirine ambulans terdengar menggema. Yang kemudian dua orang berpakaian serba putih dengan tandu di tangan segera menggotong lelaki malang itu ke dalam ambulans. "Mbak ikut sekalian ya," ujar salah satunya kepada Feisya. Feisya mengangguk ragu.

"Hei, perlu gue laporin polisi?" tanya Feisya pada lelaki yang sedang dibawa ke UGD itu. Lelaki itu menggeleng pelan sebelum akhirnya jasadnya menghilang di pintu ruangan. Akhirnya Feisya terduduk di deretan kursi yang berada tepat di depan tempat dimana lelaki itu diperiksa. Feisya menunggu sambil sesekali mengelap peluh di dahinya. Pikirannya tidak tenang saat ini. Entah bagaimana hatinya gelisah menunggu dokter keluar. Namun lamunannya terbuyar oleh dering handphone.

"Lo dimana, Sya?" suara di ujung sana terdengar gelisah

"Gue baik-baik aja, jangan khawatir"

"Gimana gue nggak khawatir kalo jam segini lo belom di rumah!" kali ini suaranya meninggi

"Besok pagi gue bakal pulang. Janji. Sekarang gue ada urusan penting bang, nanti gue ceritain kalo udah di rumah. Udah ya, gue aman."

Telepon dimatikan sepihak oleh Feisya karena dokter tiba-tiba keluar. "Keluarganya?"

"Bukan dok, saya bukan keluarganya." Namun dokter itu tetap meminta Feisya untuk ikut bersamanya.

"Jadi bagaimana kamu bisa menemukan orang ini?" tanya dokter itu minta penjelasan.

Kemudian ruang dokter itu dipenuhi oleh ocehan Feisya. Runtutan kejadian yang Feisya ceritakan membuat dokter itu tersenyum. "Tindakan kamu ini sangat tepat sekaligus cepat. Kamu melakukan pertolongan pertama dengan sangat baik. Dia sangat beruntung karena kamu menolongnya, walau kamu tahu kamu trauma melihat korban kecelakaan." Feisya tersenyum. "Bagaimana keadaannya sekarang?"

"Dia kehilangan banyak darah. Namun berkat penyelamatan kamu yang tepat waktu, dia masih bisa diselamatkan. Sekarang dia butuh bed rest sekitar 1 minggu, makan yang banyak, dan minum obat penambah darah. Dia juga belum boleh banyak pikiran. Setelah itu insyaAllah dia akan benar-benar pulih." "Doakan dia segera siuman, setelah itu kamu bisa menghubungi keluarganya untuk menebus obat-obatnya." Jelas dokter.

"Lebih baik saya saja yang membelinya. Pasti akan lama jika menunggu keluarganya datang. Jadi agar setelah dia sadar, dia bisa langsung minum obatnya, dok."

Setelah itu dokter menyerahkan beberapa lembar kertas resep pada Feisya, yang kemudian diberi penjelasan dimana Feisya bisa mendapatkan obat-obat itu.

M-

Move onTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang