Share.

50 2 1
                                    


Lelaki itu mengerjapkan matanya perlahan. Seketika cahya lampu menusuk pandangannya, seakan mempersulit dia untuk sadar. Ditambah bau obat-obatan yang sangat menyengat dan pening di kepala membuat tangannya secara spontan mengulur memijati kepalanya yang masih terbalut perban. Namun, pandangannya lebih tersentak lagi ketika merekam seorang perempuan berambut pirang yang terpejam di samping tubuhnya. Wajahnya terlihat tenang, membuat senyum lelaki itu mengembang. Namun ia segera menyembunyikan senyumnya setelah perempuan itu bangun.

"Alhamdulillah lo udah sadar," ucap Feisya sambil tersenyum.

"Apa yang lo rasain sekarang? Masih sakit?

Lelaki itu terdiam, ia hanya menampilkan bahasa tubuh, terus saja memijit keningnya.

"Kepala lo sakit?" Lelaki itu mengangguk.

"Makan dulu ya, terus minum obat, mungkin sakitnya bisa ilang," Feisya segera mengambil makanan dan menyuapkannya pada lelaki itu. Tak dapat dipungkiri, keheningan yang tercipta membuat keduanya kaku dan tidak nyaman. Feisya, sebagai orang yang baik-baik saja, segera mencairkan suasana.

"Hm, mau cerita nggak? Kata kakak gue kalo masalah dibagi ke orang lain, orang itu akan lebih baik, ya, walaupun kita belum pernah kenal sebelumnya."

Lelaki itu tersenyum simpul, hampir tidak terlihat.

"Eh tapi kalo lo gamau cerita juga ga masalah sih." sergah Feisya kemudian, tidak ingin lancang.

"Gue abis mutusin cewek gue, terus ternyata ada cowok yang selama ini nyimpen perasaan sama mantan gue ini. Cowok ini gak terima, dia pikir gue udah nyakitin mantan gue. Tadi dia bawa lima temennya buat ngeroyok gue. Ya, karena ini bukan sinetron, jadi jelas gue kalah. Waktu gue udah bener-bener gabisa apa-apa, mereka sengaja nabrak gue pake mobil dan ninggalin gue di jalan yang lo nemuin gue itu." Jelas lelaki itu kemudian. Entah kenapa ia merasa sangat terbuka dan tidak sungkan untuk berbagi dengan Feisya.

"Ya Tuhan, sadis banget cowok itu. Gila, kenapa lo gue minta tolong orang atau telpon polisi?"

"Nyatanya tanpa gue harus ngelakuin itu, bantuan dateng sendiri, kan?" Lelaki itu tersenyum, begitupun Feisya.

"Makasih ya, lo udah mau nolongin gue dan bawa gue kesini, sampe bela-belain tidur di rumah sakit buat nungguin gue siuman. Gue gatau gimana keadaan gue sekarang kalo lo ga dateng tadi. Dan gue juga gatau gimana cara gue bales semua yang lo lakuin ke gue. Yang jelas gue bener-bener berterima kasih sama lo." Lelaki itu tersenyum.

"Yang gue tahu, Tuhan yang ngirim gue buat nolongin lo. Jadi jangan terlalu berlebihan gitu, gue cuma ngelakuin apa yang harus gue lakuin. Lo harus banyak bersyukur sama Tuhan." Feisya pun tersenyum.

Perlahan suasana ruangan itu semakin ramah. Obrolan dan candaan terus mengisi setiap udara yang memenuhi kamar rawat lelaki itu.

"Oh iya, gue boleh tanya gak?" tanya lelaki itu kemudian. Feisya mengangguk, mempersilahkan.

"Gue gatau ya ini cuma perasaan gue atau gimana, tapi lo kaya punya trauma gitu ngeliat gue, kenapa?

Feisya terdiam. Dia tak tahu bagaimana harus menceritakannya. Tak tahu harus memulai dari mana.

"Gue," Feisya tak kuasa melanjutkan.

Bukan. Bukan ini yang dia mau. Lidahnya belum mengizinkan ia berterus terang. Hatinya juga belum ingin merasakan sakit. Setiap kali memori itu merasuk ke dalam benaknya, setiap kali itu pula air matanya harus keluar.Namun, saat ini, di depan orang asing ini, tidak mungkin.

"Gue keluar bentar, ya." Ujar Feisya pada akhirnya, sambil berlalu, meninggalkan lelaki itu dengan sejuta tanya.

Beberapa menit ini, Feisya membeli dua kaleng kopi siap minum, rasa mocca latte. Sesuatu yang wajib ia dapatkan di saat seperti ini. Saat kembali pun, lelaki itu masih dalam keadaan yang sama, masih asyik bermain dalam lamunannya.

"Gue bawa kopi, lo mau?" tawar Feisya ramah.

"Wah asik nih, kebetulan gue suka kopi, thanks ya."

Feisya tersenyum sembari membuka kait pada kaleng kopinya. Ia meneguknya perlahan, sedikit demi sedikit, namun belum sampai habis, dia berhenti.

"Kalo gue lagi ada masalah, gue selalu minum kopi. And I don't know how it can happen, but coffee can make me better." Kata Feisya pelan.

"Artinya, sekarang, lo lagi ada masalah?" tanya lelaki itu penasaran.

"Menariknya, gue minum kopi setiap hari." Lelaki itu semakin ingin tahu.

"Gue pikir, hidup gue gapernah luput dari masalah. Mungkin bener kata orang kalo manusia yang hidup itu pasti punya masalah. Tapi, apa masalah itu harus dateng setiap saat?" tanya Feisya, sebenarnya pada dirinya sendiri. Air matanya mulai membuat lapisan baru di pelupuk, memaksa ingin keluar, dan berhasil. Sayangnya, lelaki itu berhasil merekam semuanya.

"Hei, gue gak bermaksud bikin lo sedih. Kalo lo gabisa cerita, it's okay. Gue bisa ngerti. Please jangan nangis," cegah lelaki itu.

Feisya tersenyum dan segera mengelap pipinya yang mulai basah.

"Beberapa waktu lalu, temen gue meninggal karena kecelakaan. Sorry, gue gabisa ceritain semuanya."

Lelaki itu sempat tersentak, lalu meraih tangan Feisya.

"Gue gatau siapa lo, tapi gue bisa liat, lo cewek yang kuat. Gue tau temen lo itu pasti berharga banget buat hidup lo. Tapi, asal lo tau aja. Kehidupan akan ngasih balesan yang sama dengan apa yang lo lakuin. Kalo lo ikhlas ngerelain temen lo pergi, gue yakin lo akan nemuin yang lebih baik. Don't be sad, please."

Feisya tersenyum sekaligus tersipu. "Sorry ya, gue jadi ngungkit hidup gue di depan lo." 

Kecanggungan di antara mereka mulai pudar. Masing-masing dari mereka mulai terbuka dan berbagi masalah serta cerita hidup. Mulai detik ini, walau mereka belum mengenal satu sama lain, keduanya telah secara tidak langsung menjelaskan, bahwa mereka saling peduli.

"Ma,"

"Nak, kamu dimana kok nggak pulang? Mama khawatir," Suara di ujung sana terlihat khawatir namun lega.

"Maaf ma, aku nggak sempet ngabarin, sekarang aku di rumah sakit, tapi aku baik-baik aja,"

Selama 5 menit ini, ruang tempat Feisya dan lelaki itu berada, dipenuhi oleh suara kekhawatiran orang tua pada anaknya. Feisya tersenyum pahit ketika melihat dengan jelas, ada perhatian dan kasih sayang di sana. Dia tahu, lelaki di depannya ini begitu beruntung karena ada orang yang masih peduli dengan keadaannya.

"Sambil nunggu keluarga lo dateng, mending lo tidur biar lo bisa terlihat lebih baik," saran Feisya, yang semenit kemudian dibalas anggukan dari lelaki itu. Sedetik sebelum lelaki itu memejamkan mata, "Kalo gue tidur, lo gimana?"

"Ha-ha. Gue mau makan di kantin,"

Namun, nyatanya Feisya tidak ke tempat itu. Dia pulang, memenuhi janji untuk bercerita dengan saudaranya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 13, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Move onTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang