Bagian 1

70.5K 3.5K 150
                                    


"Kamu tidak suka kamarnya?" tanya Zavier begitu mendapati Zia yang termangu di tengah kamar selama beberapa saat. Wajah gadis itu jelas menunjukkan keengganan yang begitu kentara.

"Aah... Eemm..." Terkejut mendapat pertanyaan tak terduga itu Zia pun kehilangan kata-kata.

"Kalau kamu tidak suka—"

"Bukan," bantah Zia cepat begitu mulutnya berhasil mendapat kekuatan untuk kembali bicara. "Saya... Eee... Aku... Kamarnya bagus. Tapi..." Dan kemampuan bicaranya pun kembali lenyap.

Zavier kembali meneliti ekspresi gadis di hadapannya itu. Sebuah kesimpulan pun segera di dapatnya dari wajah yang menolak menatapnya dengan mata yang terlihat gelisah itu.

"Kamu keberatan kita tidur sekamar?" tembak Zavie langsung.

Ekspresi bersalah langsung timbul di wajah Zia yang perlahan terangkat menatapnya. Gadis itu jelas tampak begitu bersalah. Tapi perlahan, ia pun mengangguk.

Zavier tertawa dalam hati. Rupanya ayah dan anak kompak ingin menyiksanya. Ia memang diminta untuk bersabar lagi selama dua tahun oleh ayah mertuanya. Tapi ia sama sekali tak menyangka bahwa Zia juga menginginkan hal seperti ini. Sebenarnya ia bisa saja dan berhak mengajukan protes. Gadis ini sudah sah menjadi miliknya, bahkan sejak dua tahun yang lalu. Ia berhak meminta dan melakukan apa pun pada Zia. Ayah mertuanya jelas tidak punya hak apa-apa lagi. Dan bukan kewajiban Zavier untuk mematuhi perintahnya. Tapi biarlah, mungkin sebaiknya ia memang harus betul-betul bersabar dan tidak membuat istrinya ini ketakutan.

"Maaf," bisik Zia yang kini kembali menunduk.

"Tidak apa-apa," sahut Zavier cepat. Ia jelas tidak ingin terlihat merana di hadapan gadis itu. "Ini adalah kali pertama kita tinggal bersama. Kurasa kamu memang butuh beradaptasi dan sedikit privasi."

Tapi Zia terus menunduk. Gadis itu semakin terlihat ingin membenamkan diri ke lantai yang dipijaknya. Melihat itu, Zavier diam-diam menghela napas dalam. Dia memang harus ekstra sabar.

"Kalau begitu, mari kutunjukkan kamar yang akan menjadi kamarmu. Nanti kopermu biar Bambang dan bi Inah yang membereskannya sembari kita berkeliling."

Tanpa menunggu tanggapan Zia, Zavier segera melangkah mendekati gadis itu. Disentuhnya pundak Zia dengan pelan agar gadis itu mengikutinya keluar dari kamar.

***

Zia duduk di tepi tempat tidur. Matanya terpaku ke lantai. Ia tampak sedang memerhatikan sesuatu di sana. Tapi sayang, pikirannya tidak sedang berada di tempat. Pikirannya itu kini tengah berkelana pada satu hari di dua tahun yang lalu. Hari dimana ia mengenakan kebaya putih dengan seorang pria tampan bernama Zavier Bramanggara duduk di sebelahnya, dan telah bestatus sebagai suaminya.

Zia masih ingat wajah Zavier saat itu. Datar tak berekspresi. Ia mencoba meraba apa yang sekiranya dirasakan lelaki itu, tapi sama sekali tak mendapat apa pun. Zia hanya sekali bertemu Zavier sebelum hari pernikahannya. Namun mereka sama sekali tidak bertegur sapa. Zia hanya tahu bahwa mereka menikah atas dasar perjodohan. Karena sejak kecil dididik untuk patuh, Zia menurut saja. Tapi sungguh ia penasaran dengan Zavier. Apakah lelaki itu juga sama sepertinya, atau melakukannya dengan terpaksa.

Selepas prosesi akad dan resepsi yang hanya dihadiri kerabat dekat keluarga, Zavier menginap di rumah Zia. Hanya selama satu hari. Tidak ada yang spesial. Setelah itu, Zavier kembali ke Jakarta, sementara Zia tetap tinggal bersama orangtuanya di Jambi.

Dua tahun Zia tinggal bersama orangtuanya, hingga hari ini tiba. Hari dimana ia pada akhirnya harus tinggal bersama lelaki yang berstatus sebagai suaminya.

Sebenarnya Zavier bukan orang asing bagi Zia. Selama kurun waktu dua tahun itu, setiap bulannya Zavier datang berkunjung. Tapi hanya selama satu hari. Dan mereka tidak tidur sekamar. Terkadang, dalam kunjungan itu, mereka diberi waktu untuk berduaan. Biasanya itu digunakan Zavier untuk mengajak Zia jalan-jalan. Tapi kesempatan itu tidak memberi pengaruh banyak dalam hubungan mereka. Bagi Zia, Zavier tetap terlihat misterius dan enggan membuka diri terlalu banyak. Karenanya, Zia pun enggan untuk mencoba mengenal lebih jauh. Takut salah dalam bersikap.

Sejak bulan lalu, Zia sudah mempersiapkan diri untuk hal ini. Ia sudah diingatkan berkali-kali untuk kepindahannya ke tempat tinggal Zavier serta hal-hal yang harus diingatnya akan perannya sebagai istri. Beberapa kali ia juga mencoba melakukan chat atau bertelepon dengan Zavier demi membantu persiapan hari ini, tapi hal itu sama saja. Chat dan telepon itu hanya berisi basa-basi. Tak banyak memberi pengaruh apa pun. Hingga Zia bosan sendiri. Zavier tetap misterius, dan Zia merasa segan untuk membuka diri lebih dulu.

Sebenarnya Zia sungguh merasa tak berdaya. Apa yang bisa dilakukan seorang gadis enam belas tahun yang dipaksa menikah dengan pria tak dikenal dan berusia dua kali umurnya? Ya, dua kali umurnya. Saat mereka menikah dulu, Zavier berusia tiga puluh dua tahun sementara Zia enam belas tahun. Demi Tuhan, dia bahkan baru mencicipi duduk di bangku SMA. Entah apa yang dipikirkan orangtuanya saat itu Zia sungguh tak mengerti. Kini, setelah usianya delapan belas tahun dan sedikit banyak sudah mulai mengerti hubungan perempuan dan laki-laki, sedikit di antaranya suami dan istri, Zia tetap merasa tak nyaman.

Banyak hal yang membuat Zia khawatir. Banyak pula yang membuatnya takut. Dan ia pun harus melewati tahun-tahun sebagai mahasiswa. Kepala Zia terasa akan pecah karena banyak hal yang berdesakan di sana.

Sebagai mahasiswa, mungkin ia sudah punya sedikit persiapan. Namun sebagai istri Zavier, yang pada akhirnya tinggal di bawah atap yang sama, Zia sama sekali tidak memiliki gambaran apa pun.

***

Bersambung....

Haloo... cerita baru nih. Hehe... mendadak idenya muncul habis lihat sepotong manga yang belum ada lanjutan dan tidak saya baca sepenuhnya.

Mau bilang ide yang mendadak muncul itu kurang ajar, rasanya seakan saya marah dan tak bersyukur pada Tuhan atas nikmat darinya. Dikasi ide kok marah. Kan nggak bersyukur namanya itu ya. Jadiii... ya sudahlah. Saya tulis aja begini. Sudah punya sedikit plot, tapi belum tau gimana akhirnya. Mungkin ini juga bunuh diri, banyak cerita yang belum selesai tapi malah nulis yang baru. Tapi ya gimana dong, idenya mendesak2 di kepala sih. Mau nulis Vano yang berderai2 air mata, saya masih belum sanggup kayaknya. Jadi ya ini dulu deh.

Untuk Zavier dan Zia, jangan bayangin visualnya dengan yang ada di cover ya. Joseph Gordon Levitt masih kurang pas buat jadi Zavier. Mukanya kebanyakan senyum. Wkwkwk... Sementara Zoe Deschanel, hmmm... kayaknya terlalu tua untuk jadi Zia :"D Terpaksa pakai mereka karena belum nemu cover lain. Maklum, ide dadakan.

Komen ya kalau suka. Kasih masukan apalagi. Boleh banget. Asal jangan nagih Ata dulu ya. Hehe

Terimakasih sudah membaca. Love y'all. Muah....

Maaf kalau ada komen atau apa pun yang belum dibalas di cerita2 lainnya. Saya baru buka wattpad dan ngeri sendiri lihat notifikasi yang ada. Ini mau bersih2 debu yang menumpuk dulu. Harap maklum yaa :D

(3 Agustus 2016)

CopulabisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang