Bagian 5

20.4K 2.2K 90
                                    

Bagian 5

Saya kebablasan nulis ini dg kalimat yg baku kemarin2 ya. Jadi sempat ada yg ngira Zavier orang batak atau ini latarnya luar negeri. Maafkan :"D

Mulai bab ini agak dibenerin sedikit yaa... Yang sebelum2nya mohon dimaklumi. Walaupun sejujurnya saya lebih suka nulis dengan gaya begitu sih. Lebih nyaman. Hehe...

Selamat membaca :)

.........................

Sejak sarapan hari itu, Zavier tidak lagi memiliki kesempatan sarapan bersama Zia. Istrinya itu disibukkan oleh serangkaian OKK dan OPK atau apa pun itu istilahnya untuk mahasiswa baru di kampusnya. Pagi-pagi sekali Zia sudah berangkat bersama Bambang, pemuda yang dipekerjakannya sebagai sopir pribadi Zia, kemudian pulang dalam keadaan capek. Saat makan malam pun istrinya itu tampak nyaris melakukannya dengan mata terpejam.

Singkatnya, Zia tidak memberi Zavier kesempatan untuk mendekatkan diri karena kesibukannya. Bahkan Zavier yang semula berencana untuk mengambil kesempatan sejak insiden pemasangan dasi yang tanpa disengaja itu—ia berencana ingin membuat Zia yang memasangkannya dasi sejak hari itu—sama sekali tak bisa diwujudkan. Selama nyaris dua minggu Zia tampak begitu sibuk. Dan juga lelah. Bahkan di hari minggu pun ada saja kegiatannya. Zavier jadi tidak tega untuk meminta waktu pada Zia agar mereka bisa saling mendekatkan diri, dengan jalan berdua di hari libur atau akhir pekan misalnya, sedang menemaninya mengobrol selepas makan malam saja begitu sulit didapat.

Zavier berusaha maklum. Zia sedang berada dalam masa semangat-semangatnya menikmati fase sebagai mahasiswa baru. Jadi ia akan bersabar hingga kesibukan Zia mulai berkurang dan ritme kehidupan mereka berjalan kembali normal.

Namun yang amat mengganggu Zavier saat ini adalah Zia yang belakangan tampak begitu akrab dengan Bambang. Zavier merasa tanpa sadar sudah kecolongan. Entah bagaimana prooses itu berlangsung, saat ini tiba-tiba Zia sudah menganggap Bambang sebagai teman akrabnya. Seakan mereka telah saling mengenal sejak kecil.

Dan Zia tidak melakukan hal itu padanya.

Bukannya Zavier cemburu. Ia tahu Bambang jelas tidak cocok dianggap sebagai saingan. Dirinya dan Bambang jelas berbeda. Lagi pula, pemuda kampung yang tak lain adalah keponakan bi Inah itu juga adalah pemuda yang baik, sopan, dan jujur. Setahun belakang sejak memperkerjakannya Zavier jelas bisa melihat hal itu. Ia seharusnya tak perlu merasa khawatir. Bambang tampak tahu batasan.

Tapi tetap saja.

Bisa jadi karena dirinya terlalu tua, Zia merasa Bambang lebih enak diajak bicara. Dan bermula dari rasa nyaman dengan teman bicara tersebut, lambat laun muncul hal-hal berbau romansa lainnya. Lalu, di belakangnya kedua insan itu akan melakukan pertemuan rahasia di malam hari. Untuk saling melepas rindu.

Astaga. Zavier menarik napas dalam. Kenapa ia sampai berpikir sejauh itu? Bahkan kamar yang ditempati Bambang tidak terhubung langsung dengan rumah. Jika pemuda itu nekat ingin menyelinap masuk, resikonya jelas lebih besar.

Tapi bagaimana jika Zia yang datang menemuinya?

Zavier seketika menjambak rambutnya keras dan merutuki pikiran ngawurnya. Duduk diam sembari membiarkan pikiran-pikiran tidak sehat itu menggerogotinya sama sekali bukan pilihan yang bagus. Lebih baik ia temui Zia saja sekarang. Agar segera mendapat jawaban atas rasa penarannya.

Sambil mengacak rambutnya, Zavier beranjak dari ranjang. Dengan langkah besar-besar, ia melangkah keluar dari kamar dan bergegas menuju kamar Zia. Dengan harapan gadis itu masih terjaga di jam seperti ini.

***

"Huaaa... jadi Zi harus gimana, Kak?" jerit Zia dengan ponsel menempel di telinga. Tubuhnya berguling ke kiri dan kanan, demi menghilangkan keresahannya. "Ini lusa sudah harus dikumpul," sambungnya lagi.

CopulabisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang