Alvin Riando

13 3 0
                                        

Alvin's POV


"Alvin! Dengarkan dulu kata dokter." Seorang wanita berteriak.

"Aku sudah dengar. Aku sudah mengerti semuanya! Operasi besok.. kemungkinan berhasilnya rendah. Lenganku ini.. Mungkin tidak akan bisa sembuh!" bentakku.

"Itu.. Tapi.." Mama berusaha membujukku.

"Sudahlah!" Setelah mengatakan itu, aku berlari pergi meninggalkan mama.

"Tunggu dulu, Alvin..!" Pinta ibu Alvin.

Tanpa kusadari aku langung berlari tidak menentu. Aku berhenti dan melihat kesekitarku. Sungai.

Aku memutuskan untuk duduk di sekitar pinggiran sungai.

Aku mulai memikirkan awal dari semua ini.

Kecelakaan yang terjadi karena pengemudinya mengantuk. Pecahan dari material kaca yang dimuat dalam truk tersebut berterbangan ke segala arah.. Dan mengenai lenganku. Aku terdiam. Aku merasa putus asa.

"Ketemu! Woooi!" teriak seseorang dibelakangku. Aku menolehkan kepalaku dan melihat seorang gadis. Karena terlalu terburu-buru kakinya tergelincir. "Uwaaaa..."

Grep!

"Bahaya sekali.." aku menangkap gadis itu.

"Ma.. Maaf. Terima kasih." gadis itu mulai gugup. Tiba-tiba jadi berpelukan. Muka gadis itu pun memerah.

"Kamu hebat sekali. Bisa menangkapku dengan satu tangan saja. Benar-benar Ace Baseball" katanya kagum

  Cerewet, pikirku. "Kenapa kau pakai piyama?" tanyaku akhirnya.

"Ah, ini karena aku sedang diopname di RSKS!" katanya kikuk. "Namaku Lia. Salam kenal." Dia tersenyum.

"Alvin" kataku berusaha terliat biasa saja. "Kamu tahu banyak tentangku."

"Habisnya kau terkenal, sih. Sampai dimuat dikoran. Lagipula.. Aku selalu melihatmu! Pada saat sedang latihan! Pada saat melempar bola, sampai berbunyi seakan membelah angin. Bunyinya seperti syuuutttt atau syungggg gitu. Aku suka sekali!" kata Lia berbinar-binar dan sangat antusias.

Aku terdiam sejenak. "Oh, begitu.. Tapi aku sudah tidak akan main baseball lagi." Suaraku bahkan terdengar putus asa.

"Kenapa?! Padahal besok kau akan dioperasi." Lia segera menutup mulutnya dengan tangan. Sepertinya dia keceplosan.

"Kau jangan menguping pembicaraanku. Ini tidak ada hubungannya denganmu. Jangan ganggu aku."

"Tidak mau. Tunggu aku.. Hatchi!" Lia mengelap hidungnys tapi.. "Hatchi! Hatchi! Hatchi!" tidak berhenti. Hidungnya mulai memerah.

Aku melepaskan jaket dan memberikan padanya. "Pulanglah sebelum kau masuk angin."

Lia tersenyum melihatku. Dia terlihat sangat manis karena malu-malu.Lia pun berjalan mengikutiku.

"Jangan mengikutiku."

"Tidak mau."

"Pulanglah."

"Tidak mau."

"Dasar keras kepala."

"Memang. Aku akan mengikutimu sampai kau mau pulang bersamaku. Habisnya aku.." Sebelum Lia selesai mengucapkan kalimatnya aku memotong.

"Hentikan semua ini!" teriakku. Kulihat Lia kaget dan tersentak.

"Kau enak saja berpikiran seperti itu. Bermain bersama dengan anak-anak dengan gembira. Aku tidak tahu kenapa kau sampai diopname. Tapi kau akan segera sembuh, kan?! Kau sama sekali tidak mengerti perasaanku!" Bentakku ke Lia.

Lia terdiam.

Sepertinya aku berlebihan.

"Uh.." Lia menutup mukanya dengan kedua tangan.

"Ah, Hei." Aku mencoba menghiburnya.

"Kau.. Kenapa.. Kau tahu kalau aku sering bermain dengan anak-anak itu...?!" kata Lia berbinar-binar. Aku benar-benar kaget akan reaksinya.

"Jangan-jangan kamu juga selalu melihatku...?!" Ternyata begitu. Kami ini ternyata sudah terhubung. Tanpa kami sadari tentunya.

"Aku senang sekali." Lia tersipu malu menatapku.

Sial, dia terlihat manis, batinku. Sepertinya kupingku sudah mulai memerah.

"Maaf... Aku tiba-tiba memarahimu.. Aku bodoh sekali. Padahal melarikan diri pun percuma saja. Aku harus pulang..." Aku terdiam sejenak. Kepalan di sebelah tanganku menguat sampai aku gemetar. "Aku tahu itu, tapi.. Aku takut akan datangnya.. Hari esok."

Suaraku mulai terdengar bergetar. Aku sedang berjuang menahan tangisanku.

Lia menatapku dalam. Tiba-tiba dia mengatakan sesuatu yang tidak terduga.


"Hei. Ada hal yang ingin kucoba lakukan. Bagaimana kalau kita mampir sebelum pulang?"

Tomorrow For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang