Bagian II

31 1 0
                                    

Kematian selalu menjadi konsep yang abstrak bagiku. Tentu saja aku percaya kepada tuhan, aku percaya dan memegang teguh agama tapi, memikirkan tentang kematian selalu menimbulkan beribu tanya. Aku hanya tidak mengerti. Seseorang tiba-tiba berhenti hidup, seperti ada saklar yang ditekan. Lalu mereka disimpan, 6 kaki dibawah permukaan tanah, dan mereka akan dilupakan dari muka bumi ini.

Aku mendapat sebuah kutukan. Kutukanku adalah aku bisa melihat angka-angka di atas kepala orang yang menandakan sisa hari yang mereka miliki di dunia ini. Aku tidak bisa memperingatkan mereka akan ajal yang hendak menjemput mereka karena jika aku melakukan hal itu, aku hanya akan mempercepat datangnya malaikat pencabut nyawa,

Hal itu telah menjadi mimpi buruk bagiku. Aku ingat sakitnya saat orang-orang terdekatku diturunkan ke bawah tanah. Aku ingat rasa bersalah yang menyesakkan dada mengingat aku mengetahui waktu mereka tapi, tak ada yang bisa aku perbuat.

Sejak saat itu aku memutuskan untuk meminimalisir ikatanku dengan orang-orang. Aku menjadi orang yang sangat pendiam di kelas dan orang-orang menjulukiku 'Si Anti-sosial'. Teman-temanku yang sedari dulu mengenal dan berteman baik denganku selalu memandangku dengan tatapan kasihan. Mereka tidak tahu apa yang menimpaku. Mereka tidak akan percaya.

Menghindari segala bentuk kegiatan sosial adalah hal yang sulit. Aku mulai membuat beberapa pengecualian tapi, ada satu bentuk kegiatan sosial, satu bentuk ikatan yang sangat aku hindari yaitu, cinta.

Tapi, jatuh cinta itu sama seperti kematian. Mereka tidak dapat dihindari. Cepat atau lambat aku akan jatuh cinta pada seseorang dan aku akan belajar untuk melepaskannya. Yang tidak aku kira adalah aku akan jatuh cinta sekarang. Aku jatuh cinta pada saat yang tidak tepat.

Aku bertemu dengan Lily di sebuah pameran fotografi. Kami memandangi satu potret yang sama untuk waktu yang cukup lama tapi, kami tidak menyadari kehadiran satu sama lain sampai kami sudah cukup puas dengan potret itu. Aku lah yang pertama menyadari kehadirannya. Sebisa mungkin aku tidak melirik angka di atas kepalanya, sesuatu yang telah aku pelajari beberapa waktu ini. Dia tersenyum dan itu menjadi awal jatuhnya aku.

Saat itu aku belum mau membiarkan diriku jatuh cinta. Aku masih takut kehilangan. Aku masih memasang tembokku yang menjagaku dari sakit hati. Tapi, aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang Lily terutama senyumannya. Aku ingin mengabadikan senyuman itu dan menyimpannya. Hanya saja untuk saat itu, aku hanya bisa menyimpannya dalam ingatanku.

Takdir mempertemukan kami lagi untuk yang kedua kalinya. Saat itu aku sedang memotret jalanan seperti biasa lalu ada yang tiba-tiba menepuk bahuku. Aku menunduk sebelum berbalik untuk melihat siapa orangnya agar aku tidak melihat angka di atas kepalanya. Ternyata itu adalah Lily.

Pada hari itu, kami menghabiskan sejam mengobrol tentang fotografi. Obrolan kami sungguh menyenangkan dan aku banyak belajar hal baru darinya. Pada hari itu, aku mulai meruntuhkan tembokku. Pada hari itu, aku jatuh cinta pada Lily.

Aku mengajaknya untuk berkencan. Pada kencan pertama itu, Lily terlihat sangat cantik walau aku tidak berani menatapnya terlalu lama karena aku takut untuk melihat angka-angka yang melayang di atas kepalanya. Memang bodohnya aku, terlanjur jatuh cinta padanya tanpa mengetahui berapa waktu yang ia punya.

Pada akhirnya aku memberanikan diri juga untuk melihat waktu miliknya. Keberanian itu muncul saat kencan kami berakhir dan aku mengantar Lily pulang ke rumahnya. Di depan pintu rumahnya, kami saling menggoda satu sama lain sampai-sampai aku tidak menyadari jarak yang ada di antara kami sangatlah tipis. Aku bisa merasakan nafasnya menyapu kulitku. Wajahnya terasa halus di bawah jemariku dan bibirnya—aku menciumnya. U ada jutaan kembang api meletus di perutku.

TIME.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang