Running and Escape

729 33 2
                                    

Yang terasa hanyalah segalanya berat. Setiap tarikan napas ibaratkan bara api yang masuk langsung membakar paru-parunya, denyut jantung yang seakan di remas dalam setiap pompaan darah yang melaluinya. Kaki dan tangannya menolak untuk di gerakkan, seakan-akan setiap sensor dan syaraf tak ada yang menanggapi setiap jeritan yang ada di benak dan kepalanya saat ini. Untuk lari, untuk pergi dari sini.

Seperti penderitaannya bergelut dengan reaksi obat menyakitkan yang disuntikkan kepadanya masih kurang buruk, gas yang mencemari udara disekitarnya semakin membuat dadanya terasa sakit. Ia hanya bisa tergeletak di lantai, menunggu akhir. Entah mati karena obat ini, atau gas peledak yang tak lama lagi akan tersulut oleh pemicu api yang telah di atur akan meledak kurang lebih beberapa menit lagi.

Seb bukanlah orang yang sering memikirkan tentang kematiannya, tapi ia membayangkan kematiannya akan menjadi sesuatu yang tidak rumit. Mati dalam perkelahian di klub atau tertembak dan mati di gang gelap tepian kota New York. Bukan seperti ini, ribuan mil jauh dari apartemen sempitnya. Tergeletak mati sendirian di antara gedung tua di tepian pelabuhan terbengkalai di Italia tanpa ada yang mengenalinya.

Memejamkan mata, berharap bahwa saat nanti ia membuka mata semuanya telah berakhir. Mungkin mengharapkan kematian tanpa sakit adalah permintaan paling mewah, terlebih setelah semua kesalahan yang ia lakukan selama ini. Semua dosa terlupakan yang tiada seorangpun yang mengingat, kecuali dirinya. Suara detik waktu pemicu terasa berjalan sangat lambat, mungkin karena Seb sudah menyerah.

Sebelum suara bantingan-bantingan pintu memecah kesunyian.

Tanpa sempat membuka matanya, sepasang tangan yang erat menarik kerah baju Seb dan menyeretnya menuju pintu. Pengelihatannya setelah membuka mata sangat buram, tapi ia dapat melihat helaian rambut pirang yang seakan-akan bersinar tertimpa matahari sore yang masuk kedalam ruangan. Malaikat? Apakah malaikat kematian itu pirang?

"Hei kau bertahanlah! Bisakah kau berjalan? Kita harus pergi dari sini!" Malaikat itu berseru sambil memapahnya meninggalkan ruangan. Seb masih bisa menahan sebagian beban tubuhnya dan melangkahkan kakinya, sehingga ia dan malaikat ini dapat bergerak pergi. Tapi mengapa berjalan? Bukankah malaikat memiliki sayap?

Ia merasa didudukkan pada suatu benda dan Seb menyerahkan nyaris seluruh beban tubuhnya untuk memeluk pinggang yang ada dihadapannya. Malaikat ini meminta untuk berpegangan erat, jangan dilepaskan. Seb memeluk malaikat ini erat, hingga ia merasakan tiupan angin menempa wajahnya. Suara deruman bak sekawanan lebah dengan nada yang tinggi mengaum diantara mereka berdua. Tanpa memikirkan apapun Seb menikmati perjalanannya. Ia dapat mencium aroma wangi lemon grass si rambut malaikat yang membuat Seb melupakan bau karat dan ikan busuk disekelilingnya.

Suara dentuman hebat terdengar bersamaan dengan panasnya jilatan api dibelakang punggungnya. Seb dapat merasakan tubuhnya melayang di udara, untuk sesaat ia sangat lega karena tak dapat lagi merasakan apapun selain keringanan. Bagaikan dandelion yang tertiup angin dan akan pergi kemana arah angin itu bertiup.

Hingga air menampar wajahnya dan tubuhnya seperti terbanting saat menghantam permukaan air yang berombak. Air mulai masuk memenuhi paru-parunya dengan kedua tangan sekuat tenaga mencari sesuatu disekitarnya untuk diraih. Udara-udara mulai meninggalkan dirinya, berpencar lari keluar dari hidung dan mulut Seb. Ia menjeritkan sesuatu tapi suaranya yang tertelan oleh riak air, yang mulai memaksa masuk kedalam tenggorokannya.

Ia tidak ingin mati di sini.
-

Ini bukan alam baka. Karena langit-langit yang Seb tatap pertama kali saat membuka mata terbuat dari kayu dengan cat putih terkelupas juga berhias noda bocor air hujan. Perlahan-lahan otaknya mulai memproses segala kejadian sebelumnya, yang ia ingat hanyalah air yang ingin menariknya tenggelam kedalam dasar kanal yang gelap. Seb menghela napas dalam-dalam, mulai merasakan bahwa ia terbaring pada ranjang yang cukup nyaman dengan selimut putih. Di dalam selimut Seb ternyata bertelanjang polos, membuat Seb semakin bertanya-tanya dan menggenggam selimutnya erat.

HYPNOTICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang