"Hai"
Aku mendongakkan kepala, tersenyum singkat, lalu menunduk lagi. Mengaduk secangkir cappucino yang mulai mendingin di hadapanku.
"Kamu tahu tidak?"
"Apa?"
"Mimpi-mimpimu itu, seperti cappucino yang kamu aduk terus sejak tadi"
"Bagaimana bisa?"
"Kamu terus berkutat dengannya. Seolah-olah kamu terlalu sayang untuk cepat-cepat mengisapnya. Tapi kamu lupa bagian terpenting dari cappucino itu. Cappucinomu akan cepat dingin jika kamu tidak segera bertindak dan menikmati rasanya"
"Lalu, mimpiku?"
"Kamu terlalu mendiamkan mimpimu. Rancanganmu sudah sangat sempurna. Tapi kamu lupa itu sekedar rancangan. Kamu terlalu menyayangi rancangan itu. Kamu tidak segera bertindak untuk menikmati mimpimu. Sampai kapan kamu akan terus mendiamkannya?"
"..."
"kenapa diam?"
"..."
"Kamu tidak segera meminum cappucino itu karena takut rasanya tidak sama seperti yang kamu bayangkan. Apa bedanya? Kamu tidak segera mewujudkan rancanganmu, karena kamu takut hasilnya tidak seperti yang kamu harapkan. Iya, kan?"
"..."
"...sampai kapan?"
Detik berikutnya, kutatap peta Inggris yang terpampang lebar di meja. Hampir memenuhi setiap sisinya. Hanya menyisakan sedikit ruang untuk dua cangkir cappucino kami.
Aku tersenyum.
Dia benar.
YOU ARE READING
Dreamcatcher
Teen FictionKamu seperti bintang jatuh bagiku, membuatku tak pernah berhenti berharap. Namun, aku hampir terlupa. Suatu hari nanti, kau akan jatuh, dan mimpiku pun akan terhempas ikut terjatuh pula..