Aku tahu akan seperti apa reaksi Arfin.
Tawa Arfin terhenti. Kedua bola matanya tak henti mengekor mengikuti setiap gerakan Kirana. Aku tahu tak ada gunanya berusaha membuat Arfin kembali fokus padaku dan rencana makan eskrim beberapa menit lalu. Terlebih lagi, Kirana kemudian menyingkap tirai putih transparan yang membatasi jajaran buku-buku dengan ruang baca.
"Hai, Fin"
Oh Tuhan, senyuman itu, manis sekali.
Aku mencibir. Menunggu reaksi seperti apa yang akan ditunjukkan Arfin.
"Hai juga, Kir. Sedang apa disini? Mau cari referensi buat tugas? Atau cuma sekedar numpang baca ngelepas jenuh?"
Tepat. Kirana mengucapkan satu poin dan Arfin menyambutnya dengan dua puluh satu poin.
Kirana tersenyum kecil menanggapi serentetan kalimat Arfin. Tangannya dengan gemulai menyapukan jemari di atas kursi yang sedikit berdebu, lalu beranjak duduk.
"Tugas bahasa. Biasa lah, cari literatur tentang puisi-puisi" sahutnya. Arfin menganggukkan kepala dengan sorot mata yang tak lepas memandang wajah cantik Kirana. Aku mendengus sebal dan menginjak kaki Arfin.
"Ayo beli eskrim, Fin! Lalu pulang..." rengekku. Arfin menatapku tajam, tetapi tetap menyeringai pada Kirana.
"Hus, siapa sih yang mau beli eskrim. Tugasku masih banyak. Terus siapa tahu juga Kirana butuh bantuan cari buku puisi yang bagus" bantah Arfin cepat.
"Oh? Hahaha, tidak usah. Pak Bana bisa membantuku dengan sangat baik. Kamu temani saja Zara. Kapan-kapan kita bisa ketemu lagi" Kirana menyahut setelah mendengar pernyataan Arfin.
"Tuh, dengerin! Lagipula tadi kamu sendiri yang sudah bilang iya"
"Nope" jawab Arfin tegas, kembali meletakkan ransel di atas meja, beranjak duduk di hadapan Kirana. Aku menggigit bibir, menahan kekesalan.
"Ya sudah, terserah" tandasku cepat, melangkah keluar ruang baca.
Pak Bana yang tengah duduk sembari menyesap kopi hitam segera membetulkan letak kacamatanya begitu menangkap siluetku keluar dari ruang baca.
"Lho, Mbak Zara sudah mau pulang?"
"Iya, Pak. Takut kesorean",
"Ndak bareng Mas Arfin? Tadi berangkat bareng kok pulangnya ndak bareng?"
"Iya, Pak. Arfin masih pengen bantuin pacarnya nyari literatur puisi" sahutku kesal.
"Lho? Mas Arfin kan ndak punya pacar tho, Mbak. Apa Mbak Kirana tadi itu pacarnya Mas Arfin?"
"Bukan, Pak. Pacarnya Arfin ya itu, tadi dia ketemu pacarnya yang juga setengah jadi di ruang baca. Katanya sudah lama nangkring di pojok ruangan, Pak"
"Kok saya ndak lihat ya, Mbak?"
"Kuntilanak itu lho, Pak",
"Oalah, hahaha, ada-ada aja Mbak Zara ini. Kok jadi nakutin tho, Mbak? Ya sudah, pulangnya hati-hati ya, Mbak. Hafal jalannya kan, Mbak?"
"Hafal kok, saya pulang dulu ya, Pak Bana. Terimakasih",
...
AC kamarku berdesir lembut. Lamat-lamat membawa serta aroma pengharum ruangan yang sepertinya baru saja diganti oleh Bunda saat aku pergi. Aku menyelubungi tubuh rapat-rapat di bawah selimut tebal, mengintip wallpaper kamar bergradasi warna peach lembut dari celah selimut.
Dulu saat kami masih kecil, Arfin akan memarahiku jika aku bertindak seperti ini. Menurutnya, itu sama saja aku memakai sesuatu yang sia-sia dan merusak. Untuk apa nyalain AC kalau kamu sibuk di dalem selimut? Ngerusak planet, dasar alien planet lain!
Eskrim yang tadi benar-benar kubeli sudah lama habis. Menyisakan tisu berlumur noda lelehan cokelat. Aku bergegas menyingkap selimut, menatap jarum jam yang menunjukkan pukul lima sore. Arfin masih disanakah?
Aku beranjak keluar kamar, berjalan ringan menuju balkon yang memiliki akses cukup terbuka untuk memantau balkon rumah Arfin. Jaraknya hanya bebeberapa rumah saja dari rumahku. Wajar bila kami memiliki kedekatan sejak masih sangat kanak.
"Zaraaaa!" panggilan Bunda yang lebih mirip teriakan, membuatku bergegas memutar badan, berlari menuruni tangga menghampiri Bunda di depan televisi.
"Ada apa, Bunda?"
"Bantu Bunda siram bunga di halaman depan, ya? Sekalian beri makan ikan-ikan di kolam belakang. Bunda mau cuci baju dulu"
"Siap!"
Aku berlalu menuju halaman depan yang dipenuhi aneka macam tanaman koleksi Bunda. Bunda amat suka mengoleksi berbagai tanaman. Mulai dari berbagai jenis bunga, semak-semak, hingga bermacam bonsai. Bunda bisa marah bila tanaman-tanamannya diusik, jadi sepertinya aku harus ekstra hati-hati.
Namun, baru saja aku berhasil menyambungkan selang panjang ke mulut kran air, suara tempias rintik hujan mengiringi jatuhnya tetes-tetes air kecil. Membasahi taman ajaib Bunda. Aku tersenyum kecil, berlari menuju teras belakang.
Jika ada bagian yang paling kusuka dari rumah sederhana keluargaku, tentu saja adalah teras belakangnya. Teras ini berbentuk setengah lingkaran yang cukup luas hingga menyentuh pagar belakang. Uniknya, teras ini berlantai papan dan dibangun di atas kolam ikan kesayangan Ayah yang berpadu dengan cantiknya teratai-teratai apung milik Bunda.
Menghabiskan waktu di teras belakang tentu sangat menyenangkan. Atapnya pun terbuat dari kaca. Sehingga bila hari hujan pun, seseorang bisa tetap berlama-lama di sana tanpa takut terkena curahan air hujan.
Aku mendekati pagar pembatas teras dengan kolam, lalu dengan hati-hati menaburkan segenggam makanan ikan ke dalam kolam. Segera, ikan-ikan kecil berebutan melahap makanan yang baru saja kutaburkan untuk mereka. Aku berdiam sejenak, sebelum suara sumbang Fasya membuatku tergeragap.
"KAK ZARAA, DICARI KAK ARFIN!"
Aku segera berlari menyongsong Arfin yang berdiri di depan pintu rumahku. Namun, beberapa saat setelah menatap Arfin, aku tersadar. Untuk apa aku menemui makhluk setengah jadi ini?
"Mau apa?" ucapku sinis.
"Duh, Ra. Kamu marah, ya?"
"Gak"
"YES! Karena kamu gak marah, aku mau cerita. Izinin aku masuk dulu, dong! Hujan, nih" ujar Arfin santai.
"Tau kalau hujan kenapa gak langsung pulang? Ngapain mampir kesini dulu?" balasku sengit.
"Kan aku sengaja dateng nyempetin waktu buat cerita-cerita. Sebagai ganti eskrim yang gak jadi tadi"
Kata-kata Arfin mau tak mau membuatku luluh. Aku segera menyingkir, memberi ruang yang cukup untuk dia melangkah masuk dan mengempaskan tubuh di sofa ruang tamu. Aku menarik kursi lipat dan mengambil posisi agak jauh darinya.
"Kok jauh-jauh sih?" tanya Arfin.
"Kamu bau" jawabku singkat. Arfin melelerkan lidah.
"Apaan, bilang aja kamu cemburu sama Kirana, kan?"
"Cemburu? Hah, siapa yang cemburu?"
"Ya, habis jutek gitu"
"Sejutek apapun aku, sedeket apapun kamu sama Kirana, aku gak pernah punya alesan buat cemburu, oke? Cepetan cerita!"
"Aku ganggu, ya?"
"Banget!"
Jawabanku sontak membuat Arfin tertawa keras. Melemparkan sebuah bola tisu padaku yang entah kapan ia bentuk.
YOU ARE READING
Dreamcatcher
Teen FictionKamu seperti bintang jatuh bagiku, membuatku tak pernah berhenti berharap. Namun, aku hampir terlupa. Suatu hari nanti, kau akan jatuh, dan mimpiku pun akan terhempas ikut terjatuh pula..