Tiga

22 3 0
                                    


Aku menyimak ucapan Arfin sambil lalu. Arfin sendiri tidak terlalu ambil pusing soal tingkahku yang mendadak tidak memedulikan ucapannya.

"Ih, gila, Raaa! Kirana itu sejak dulu sampai sekarang gak ada bedanya! Tetep aja cantik! Ramah, baik, makin pinter pula!"

Intonasi suara Arfin seperti pemutar musik dengan volume yang dihentak-hentakkan. Aku hanya memainkan jemari sambil membaca majalah di pangkuanku.

"Terus, kamu gimana?" tanyaku.

"Gimana apanya?"

"Ya gimana, kamu ajakin dia ngobrol apa aja?"

"Banyak, lah! Aku baru tau kalau ternyata selain dia rajin banget nyari literatur-literatur puisi buat tugas bahasa, dia juga pecinta puisi. Keren banget, kan?" Arfin menyambut antusias. Aku berdeham pelan.

"Mana aja cewek seperfect itu, Fin" ujarku pelan.

"Ada! Kirana itu bukti nyata bahwa ada cewek yang perfect!"

Setelah itu hening. Aku tidak berminat menanggapi apapun perkataan Arfin. Sementara Arfin sendiri memainkan handphone sambil sesekali mengamati interior rumahku. Beberapa menit kemudian, Bunda datang memecah keheningan di antara kami.

"Lho, ada Arfin. Sejak kapan dateng, Nak?" sapa Bunda hangat. Arfin tersenyum tak kalah hangat, lalu bergegas menyalami Bunda.

"Barusan kok, Tante. Cuma pengen mampir sebentar, masih hujan, lagian di rumah juga sepi, gak ada orang" jawabnya kemudian. Bunda mengangguk-anggukkan kepala.

"Sudah makan? Yuk, makan dulu!"

"Jam setengah enam sore mau makan apa, Bun", sahutku.

"Ya sudah, ayo minum teh dulu. Bunda tadi bikin teh aroma buah-buahan kesukaanmu, Ra. Oh ya, Tante juga masih punya biskuit keju favoritnya Arfin. Ayo! Ndak usah sungkan", Bunda menggamit lengan Arfin dan mencubit bahuku kecil. Sebuah isyarat bahwa aku cukup menuruti ucapan Bunda.

Pemutar musik di ruang makan lamat-lamat mengalunkan melodi yang menenangkan. Dinding kaca yang membatasi ruang makan dengan taman samping tampak berkilauan berhias aliran tetes-tetes hujan. Bunda mempersilahkan Arfin duduk dan memintaku mengambil gelas-gelas di dapur.

"Tante paling suka suasana hujan-hujan seperti ini. Musik alamnya bagus ya", Bunda membuka pembicaraan. Tepat ketika aku mengangsurkan gelas-gelas ke atas meja makan bundar.

"Iya, Tante. Saya juga suka. Musik hujan itu seakan tidak ada tandingnya!" seru Arfin. Aku mencibir.

"Halah, gayanya", ledekku.

"Beneran, kok!"

"Jangan percaya, Bun! Arfin itu kehujanan sebentar aja, besoknya sudah demam gak karuan", Mendengar ucapanku, Arfin mengulum senyum.

Fasya masuk ruang makan sambil mendekap buku dongeng bergambar di tangan kanannya. Melihat Arfin, kedua bola matanya langsung berbinar.

"Kak Arfiin! Aku cari di ruang tamu gak ada, kukira sudah pulang", serunya riang.

"Oh ya? Ada butuh apa kok sampai nyariin?"

"Tidak ada, sih", Fasya menyahut singkat, menarik kursi di antaraku dan Arfin. "Kak Zara gak boleh deket-deket sama Kak Arfin, ndak muhrim", lanjutnya.

Bunda tertawa, "Lalu kamu sendiri deket-deket sama Kak Arfin. Maumu apa, Sya?"

Fasya memamerkan gigi-giginya yang berderet rapi. Aku menatapnya ngeri. Fasya sudah duduk di kelas 2 SMP, tapi entah kenapa kelakuannya masih seperti anak usia lima tahun.

Bunda menuangkan teh dari teko ke tiap-tiap gelas. Disusul dentingan sendok gula yang beradu dengan gelas. Aku kembali melamun, menatap Arfin dari balik teko yang transparan, membuat wajah Arfin terlihat lebih lebar namun abstrak.

Namun apapun itu,

kuakui bahwa Arfin selalu tampan,

dan Kirana selalu cantik.

DreamcatcherWhere stories live. Discover now