Empat

30 2 1
                                    

Arfin berpamitan sepuluh menit kemudian. Mamanya menelepon dengan suara keras karena Arfin lupa meninggalkan kunci cadangan. Hujan yang turun semakin deras membuat Bunda turun tangan meminjamkan sweater tebal dan payung lebar pada Arfin. Hal yang berlebihan menurutku. Terlebih mengingat bahwa rumah Arfin hanya setidaknya berjarak lima belas langkah dari rumahku.

Fasya dengan riang mengantarkan Arfin hingga ke gerbang depan. Setahuku, sejak Fasya masih kecil, memang dia sangat akrab dengan Arfin, hingga membuat Arfin dinobatkan sebagai idola Fasya sepanjang masa.

Aku mendengus melihat Fasya menggelayuti lengan Arfin. Berbicara panjang lebar tentang hujan-itu-dulunya-airmata-ratu-awan-yang-mencari-anaknya. Lalu, aku bergegas menaiki tangga menuju kamar. Mengunci pintu rapat-rapat.

Oh - thinkin' about all our younger years

There was only you and me

We were young and wild and free

...

"Zara, lihat deh!"

Arfin berlari riang menemuiku yang tengah duduk di ayunan taman kompleks. Kami suka menghabiskan waktu dengan bermain bersama di taman ini.

"Apa itu?"

"Peta!"

"Peta?"

"Ya! Peta Negara Inggris! Aku dapat ini dari papaku",

Arfin memiliki seorang Papa yang sangat hebat, itu menurutku. Papanya adalah seorang diplomat. Juga sosok yang sangat religius. Om Randy -panggilanku untuk beliau- juga sering memberikan motivasi padaku dan Arfin. Beliau juga sering menuturkan cerita-cerita pengalaman menakjubkan setiapkali pulang usai berkelana ke suatu negara baru.

"Untuk apa peta itu?" tanyaku polos. Mata bulatku menatap lekat-lekat peta yang tengah dihamparkan Arfin di atas rerumputan.

"Ayo kita kesini!"

"Ke Inggris?"

"Ya!"

"Untuk apa?"

"Jalan-jalan! Papaku bilang, Inggris itu keren! Negara ini juga masih menyimpan banyak pesona akan masa-masa keemasannya dalam sejarah!" sahut Arfin dengan mata berbinar.

"Ke sini aja, ya?" ujarku sembari menunjuk satu titik di peta tersebut. London. Ibukota Inggris.

"Boleh! Janji ya?"

"Janji!"

...

Kenangan itu menyeruak begitu saja. Aku melemparkan tubuh ke atas kursi putar. Menengadah menatap langit-langit kamarku yang ditempeli stiker awan-awan putih.

Now nothin' can take you away from me

We bin down that road before

But that's over now

You keep me comin' back for more

...

"Kamarmu jelek!" komentar Arfin pedas saat pertama kali mengunjungi kamarku untuk meminjam video game.

"Bagus kok!"

"Jelek!"

Arfin lalu membongkar tasnya. Mengeluarkan sejumlah stiker awan-awan putih.

"Aku sudah menduga kamarmu akan sejelek ini. Nih, tempelkan ini di atas sana, nanti jadi bagus!"

"Iyakah?"

"Iya!"

Lalu, aku berlari menemui Ayah yang sedang mencuci mobil. Ayah tertawa kecil mendengar permintaanku, namun mengabulkannya. Ayah membantu kami menempelkan stiker awan-awan putih itu di langit-langit kamarku.

"Nah, kalau sudah gini kan bagus!" ucap Arfin.

Aku menengadah, lalu menjatuhkan tubuh ke atas karpet. Arfin turut menjatuhkan tubuh di sampingku. Aku tersenyum kecil, lalu bertepuk tangan.

...

Lalu disini, aku pun turut tersenyum kecil. Memori-memori menyeruak begitu saja. Pandanganku tertuju pada sebuah foto berbingkai yang kuletakkan di atas meja belajar. Foto masa kecilku dengan Arfin. Foto kami berdua dengan pipi menggelembung dan penuh noda eskrim cokelat favorit kami.

Baby you're all that I want
When you're lyin' here in my arms
I'm findin' it hard to believe
We're in heaven

...

"Kamu mau makan eskrim?" tawarku saat kulihat Arfin memenuhi janjinya untuk datang berkunjung.

"Boleh!" sahutnya cepat. Aku berlari menuju dapur, mengambil senampan penuh eskrim dari dalam kulkas, membawanya ke ruang tamu tempat Arfin sibuk memainkan miniatur dokar dan becak koleksi Ayah.

"Nih, pilih sendiri mau rasa apa" ucapku.

Arfin mengambil eskrim rasa cokelat, sementara aku meraih cone eskrim vanilla. Namun, belum sempat membuka bungkusnya, Arfin dengan tangkas menjauhkan eskrim dari mukaku.

"Eh?" balasku bingung.

"Jangan yang itu, gak enak!" serunya. Arfin mengganti eskrim vanilla dalam genggamanku dengan eksrim cokelat dalam genggamannya. "Cokelat lebih enak", lanjutnya.

Aku tidak membantah. Hanya menatap kebingungan sambil mengucapkan terimakasih.

Sejak saat itu, eskrim cokelat selalu menjadi sesuatu yang istimewa.

...

And love is all that I need
And I found it there in your heart
It isn't too hard to see
We're in heaven

...

Aku mempercepat laju sepatu roda yang kukenakan. Meninggalkan Arfin jauh di belakang yang terengah-engah mengayuh sepeda. Dia tadi mengejekku bahwa sepatu roda baruku takkan bisa mengalahkan laju sepedanya.

"AKU MENANG!" Aku berteriak begitu Arfin tiba di hadapanku. Mukanya memerah.

"Ya ya, apa maumu?"

Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Lalu, aku menunjuk sebuah lapak aksesoris  Ada berbagai macam jepit rambut yang lucu di sana. Arfin tertawa, lalu mendahuluiku menuju lapak aksesoris tersebut.

Di belakang, aku menyusulnya perlahan. Tersenyum kecil. Menyadari bahwa aku memiliki seorang sahabat yang hebat.

...

Ah iya, sahabat.

Tujuh huruf itu menimbulkan nyeri kecil dalam rongga hatiku. Lagu dari pemutar musik sampai pada bagian yang membuatku teringat momen kali pertama Arfin bercerita tentang Kirana.

Oh - once in your life you find someone
Who will turn your world around
Bring you up when you're feelin' down

...

"Kirana siapa?" tanyaku asing. Hari itu baru hari pertama kami di bangku kelas 2 SMP dan Arfin sudah menyambutku dengan kabar bahwa dia-bertemu-seorang-gadis-yang-sangat-cantik.

"Kirana! SMP Tunas Raya 74!" balasnya riang. Aku berpikir sejenak.

"SMP di perempatan dekat sekolah kita itu?" Arfin mengangguk semangat.

"Cantik banget, Ra!"

"Masa' sih?"

"Sumpah! Matanya bening, wajahnya teduh, hidungnya mancung, rambutnya... duh!" aku terdiam, membiarkan Arfin berargumen.

"Sama aku cantikan siapa?" pertanyaanku membuat tawa Arfin meledak.

"HAHAHA, KAMU? KAMU DIBANDINGIN SAMA KOTORAN KUKUNYA AJA KALAH!"

Aku tahu Arfin bercanda, maka kupaksakan tertawa hambar. Bagaimanapun, entah mengapa aku mulai memahami, bahwa aku mulai merasa sakit hati.

...

"ZARAA!! MUSIKNYA MATIIN! AYAHMU DATENG!"

Teriakan Bunda membuyarkan lamunanku tentang masa laluku dan Arfin. Aku bergegas mematikan pemutar musik, lalu turun untuk menyambut Ayah.

Namun, batinku kembali kelu, saat mendapati Ayah pulang dengan sekotak eskrim cokelat.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 13, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

DreamcatcherWhere stories live. Discover now