Percakapan yang tidak menyenangkan

47.2K 1.1K 9
                                    

Aku kembali menatap layar datar ponselku, menegaskan diriku kalau inilah hal tepat yang aku lakukan. Bukan untuk sekedar memastikan sesuatu yang memang sudah pasti, tapi lebih kepada memenuhi hasrat ego yang seakan mendobrak dadaku.

Aku memang baik-baik saja, apa yang tidak membuat aku baik-baik saja? Sedangkan pria yang selama ini aku puja sebentar lagi akan menjadi milikku seutuhnya. Lantas atas dasar apa aku malah memilih menoreh sendiri lukaku? Tidak, kupastikan kalau aku akan tetap bahagia walau pertemuan ini berakhir menyedihkan.

"Nyonya! sudah sampai." Aku tergagap, mendengar suara serak yang tak sabaran. Seolah suara itu terlalu lelah memanggil, dan kurasa memang ya. "Saya harus menunggu atau.."

"Tidak perlu Aryo, aku akan lama. Jadi duluan saja." Aku memerintah pada sopir calon ibu mertuaku.

"Tapi Nyonya," Aryo berbalik, langsung menatap aku dengan cemas.

"Aku Pasti datang Aryo, aku tidak mungkin menghancurkan hari bahagia ini." Aku memberikan seulas senyum, merapikan gaun hijau toska yang aku kenakan. Bukankah aku harus terlihat sedikit cantik di depan wanita itu? Maka dengan senyum menyedihkan aku memilih gaun ini. Gaun kesayanganku.

Ku taruh tas tangan di pundak ku, langsung menepuk bahu Aryo sebelum dia bicara terlalu jauh, lebih baik aku keluar.

Aryo terlihat terlalu cemas, Apa yang bisa aku lakukan? Kecemasanku sendiri saja tidak bisa kuatasi apalagi harus menyingkirkan kecemasan di wajah Aryo.

Aku berjalan pelan, kembali bertanya pada hati kecilku kalau inilah hal yang tepat untuk di lakukan. Aku tidak mau wanita itu bertanya-tanya tentang ketidakinginanku bertemu dengannya.

Aku menatap sekeliling, setelah sampai di tempat pertemuan kami. Dan saat sosok yang tak pernah ku harapkan untuk kulihat itu melambaikan tangan, jantungku langsung berpacu dengan waktu. Aku tidak pernah tahu kalau hatiku akan sesakit ini saat kami bertemu.

Entah bagaimana pikiran picik itu langsung menghantui. Tubuh itu pernah di peluk oleh sosok yang aku cintai, bahkan bibir itu pernah di lumat oleh lelaki yang ku cinta. Adakah yang segila diriku? Kurasa aku mau muntah sekarang.

Tapi bersikap pengecut sekarang juga tak ada artinya. Dengan kaki gemetar aku kembali mengalah, mencoba mencari sisa tenaga yang mungkin ku simpan entah dimana.

Vio mengulurkan tangan, tersenyum hangat seolah aku hanya teman lama yang cukup membuat senyum itu terkembang di bibir pucatnya. Bahkan sekarang aku mulai membedakan diriku dengannya. Wanita yang cantik tanpa satu polesan make up ini membuat aku hilang kewarasan.

Aku menjabat tangan yang terasa lembut, memberikan seulas senyum menyedihkan.

"Kamu mau makan apa? Kuharap kamu belum makan karena aku butuh teman makan sekarang." Vio sibuk membolak-balik menu yang ada di depannya. Sementara aku sibuk mencari cara untuk mengakhiri pertemuan ini.

"Aku sudah makan." Kuberikan seulas senyum membuat dia berhenti menatap menu, dan langsung menatapku dengan tatapan aneh. "Aku tidak bermaksud menolak ajakanmu, aku benar-benar kenyang."

"Aku tahu." Dia memberikan seulas senyum. "Baiklah. Kurasa aku tak perlu basa-basi kan?" Entah kenapa aku tidak suka dengan wanita ini.

Aku sedikit terkejut saat tangan Vio meraih tanganku yang ada di atas meja dan meremasnya pelan. "Jangan menikah dengan dia Luna, kumohon." Hatiku berdegup, bertalu dengan rasa sakit yang teramat sangat. Apa maksud wanita ini?

"Apa yang kamu.."

"Dia menikahi kamu karena aku Luna. Aku tidak mau dia melampiaskan kemarahannya pada kamu, aku tidak bisa tenang memikirkannya." Vio berucap menggebu.

Sedangkan aku hanya mampu merasakan getaran di tubuhku yang semakin mengguncangkan.

Aku mengambil tasku dan langsung pergi meninggalkan wanita itu sendiri.

***

Langkahku terhenti saat ku dapati sebuah mobil sudah ada di pekarangan rumah. Dengan sedikit pelan ku lanjutkan langkah. Merasa yakin kalau kali ini aku akan dapat petuah dari pemilik mobil tersebut.

Aku membuka gerbang rumah, langsung melangkah melewati mobil dan mengetuk pintu. Wajah Lara yang pertama aku lihat muncul, menampakkan kecemasan luar biasa.

"Astaga Luna! Kamu membuat aku mati jantungan kalau seperti ini terus. Kemana kamu sebenarnya menghilang?" Tanyanya penuh dengan nada tidak percaya, ku berikan dia seulas senyum tak berarti.

"Aku ada urusan mendadak." Jawabku tenang. Setenang air tapi memiliki badai di dalamnya.

"Dan tidak memberi kabar pada calon suami kamu?" Lara menatapku tak mengerti, dan aku memang pantas tidak di mengerti.

"Maaf." Aku tertunduk dalam. Menyembunyikan airmata yang sudah mencoba mendobrak ingin keluar.

"Aku akan bicara dengan dia Lara." Suara dalam itu terdengar, entah sejak kapan dia muncul. Aku masih tertunduk tak berani beradu tatap dengan mata hitam setajam elang tersebut.

Lara mendesah. "Aku ingin masalah ini selesai dengan baik. Harap mengerti dengan dia Andre." Lara melangkah pelan meninggalkan kami.

Mendengar Andre yang tidak bicara sepatah katapun membuat aku memberanikan diri untuk mengangkat wajah. Dan di sanalah dia, rasa hancur ku ada. Aku tidak pernah mampu membaca mata itu, aku tidak pernah mampu mengartikan tatap itu. Aku tidak pernah tahu siapa sebenarnya sosok yang akan aku nikahi ini, aku ingin semuanya batal. Aku tidak ingin ini, tidak ingin kesakitan ini.

Andre mendesah, maju beberapa langkah membuat aku mundur dua langkah. Andre mengangkat sebelah alisnya, menatap aku dengan pandangan bertanya yang tidak di sembunyikan.

Kembali Andre melangkah mendekati, begitu juga aku kembali melangkah mundur dua langkah membuat Andre berdecak kesal. "Apa yang terjadi?" Tanyanya dengan nada tidak sabar. "Aryo bilang dia mengantar kamu ke mall dan meminta dia meninggalkan kamu. Apa kamu pikir semua ini lelucon Luna? Kamu pikir keluarga aku sebuah permainan anak kecil? Apa sebenarnya yang ada di otak kamu?" Andre marah, benar-benar marah. Bahkan pupil matanya membesar.

"Aku ada urusan mendadak." Jawabku mendekap tas ku di dadaku, membangun pertahanan rapuh di sana.

"Apa ada yang lebih penting dari pernikahan kita? Kamu tahu sendiri aku meluangkan waktu dengan membuat keluarga aku berkumpul demi mengenal kamu. Tapi apa yang coba kamu perbuat di sini?" Andre terdengar ingin berteriak tapi menahannya.

Aku menantang mata hitamnya, menatapnya dengan rasa cinta yang masih sama. Bukankah cinta tak harus memiliki? "Aku.. tidak ingin pernikahan ini." Jawabku dengan suara parau.

Andre melongo tidak percaya. Menatap nanar kearahku seolah aku wanita gila saja, memang aku gila. Tergila-gila pada satu sosok yang ada di depanku ini. Tapi tergila-gila padanya tidak membuat aku menghalalkan segala cara untuk memilikinya. Karena aku tahu, saat dia memutuskan bersamaku saat itulah dia akan kehilangan kebahagiaan nya.

"Luna.." Andre kehilangan kata, tak tahu harus berucap apa. Sedangkan aku langsung melewatinya dan berjalan ke dalam rumahku. Berlari kearah kamarku dan mengunci diri di dalam kamar mandi.

One Night (Abigail Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang