Pertemuan dengan Mami Delila

27K 1K 12
                                    

"Kamu membatalkan pernikahan dan malah sekacau ini, apa yang sebenarnya ada di kepala kamu Luna?" Aku menatap Lara meletakkan kopi di dekatku membuat aku langsung mengambilnya dan mencium aroma kopi yang menyenangkan.

"Aku hanya ingin dia bahagia. Apa yang salah?" Jawab sekaligus tanyaku pada sepupuku yang menatapku tak habis pikir.

"Atas dasar apa kamu yakin kalau dia tidak akan bahagia sama kamu?"

"Atas dasar karena dia tidak mencintai aku." Ku minum kopi itu perlahan. Mengabaikan Lara yang sudah duduk di depan ku dan siap beradu argumen.

"Cinta bisa datang di dalam pernikahan."

"Aku hanya ingin dia bersama wanita yang di cintainya, bukan bersamaku yang hanya dia anggap tanggung jawab saja."

"Tapi wanita itu tidak menginginkan dia." Lara menatap aku seperti aku tidak tahu saja.

"Maka dia harus menunggu orang yang bisa membuat dia bahagia." Putus ku final.

"Bagaimana kalau orang itu kamu?" Lara memancingku.

"Tidak. Tentu bukan aku." Jawabku ironis.

"Tidak akan pernah ada yang tahu akhir cerita hidupnya Luna, kamu sendiri selalu meyakinkan kata itu."

"Karena aku tidak pernah tahu bagaimana akhir kisahku, maka aku tidak akan pernah mencari tahu lewat lukaku sendiri." Kali ini mataku menajam menatap Lara yang juga menatap aku marah.

"Kamu hanya tidak mau keluar dari posisi nyaman kamu. Apa aku salah?"

"Kamu pikir menjauhkan dia adalah posisi nyaman buatku? Tidak Lara, sama sekali tidak. Menjauhinya adalah beban terberat yang aku jalani." Aku bangun langsung berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan hati teriris pedih.

"Lantas apa bedanya dengan bersama dia? Kamu merasa kalau bersama dia akan membuat kamu terluka, tapi meninggalkan dia juga membuat luka itu ada Luna." Lara masih tak mau menyerah dengan argumennya membuat aku mendesah lelah.

Aku berbalik, menatap Lara dengan keteguhan mantap. "Bedanya, kalau aku bersama dia maka kami berdua yang akan terluka. Tapi kalau aku menjauhi dia hanya aku yang akan terluka." Satu tetes airmata lolos di mataku, memberikan pandangan terluka pada Lara.

Lara melihatnya, melihat kehancuran yang ada di mataku. Aku tidak pernah menyalahkan takdir, tapi aku lebih menyalahkan keadaanku. Keadaan yang tak mampu membuat aku mengambil sedikit keegoisan untuk memiliki laki-laki yang teramat aku cintai.

Lara mendekat, memelukku dengan segala hal yang dia miliki. Di elusnya punggungku dengan sayang. Membiarkan airmataku jatuh tepat di pundaknya.

Aku mengiba pada sang takdir, jika aku tak bisa memiliki pria itu maka biarkan dia mendapatkan kebahagiaan yang sepantasnya dia dapatkan.

Suara bel rumah membuat Lara melepas pelukannya dan menghapus air matanya. "Aku akan membuka pintu dulu." Ucap Lara langsung berlalu dari hadapanku.

Aku kembali berbalik, menatap jendela. Merasakan kedinginan yang memelukku dengan seerat mungkin.

Suara langkah kaki Lara tidak membuatku menatap kearahnya. "Luna!" Lara memanggil membuat aku langsung berbalik, dan melongo menatap siapa yang datang bersamanya.

"Tante Delila." Ucapku parau.

***

"Tante!" Aku berucap setelah menyeduhkan kopi untuknya. Lara diam di kamarnya, membuat jantungku makin bertalu saja.

Tante Delila meminum kopinya dengan senyuman yang tidak pernah hilang di bibirnya. Entah bibirnya itu tersenyum tapi aku tahu ada kemarahan di dalamnya, aku tidak tahu pada siapa dia marah dan tentunya tidak ingin tahu.

"Aku dengar kamu memutuskan pernikahan dengan Andre?" Apa orang-orang ini tak bisa berbasa-basi terlebih dahulu? Kenapa selalu ke inti masalah, aku sendiri malah repot buat mencari alasan yang tepat.

"Tante aku.." aku tertunduk dalam, kehilangan kata yang memang tak ada kata yang mampu aku rangkai.

"Dalam keluarga kami, sekali seseorang menyentuh wanita yang bukan miliknya maka sampai akhir dia harus bertanggung jawab." Mami Delila berucap tajam, setajam silet yang baru di asah. Hatiku ketar-ketir. "Seperti anak saya yang menyentuh kamu, dia juga harus bertanggung jawab bahkan walau kamu menolaknya. Saya tidak tahu apa masalah kalian, tapi yang saya tidak mau adalah tanggung jawab yang harus anak saya tanggung dia abaikan begitu saja." Wanita di depanku ini terdengar tegas tak terbantah.

Aku masih dengan posisi tertunduk yang semakin dalam. Mencermati setiap katanya, yang masih membuat hatiku semakin terasa di remas oleh tangan tak kasat mata.

"Saya minta maaf Tante."

"Bukan minta maaf Luna, bukan. Yang saya mau adalah kata Ya. Bantu keluarga saya untuk tidak kehilangan wajah di depan orang lain. Hanya itu Luna, dan saya janjikan pada kamu kalau kamu akan mendapat perlindungan dari saya." Nada muktamat dari wanita di depanku membuat aku langsung menatapnya nyalang. Bukan seperti ini yang saya mau bukan begini.

"Tante.."

"Jangan membantah saya lagi Luna, besok siang Aryo akan menjemput kamu dan kamu bawa koper kamu." Tante Delila berucap tajam. "Kamu tinggal bersama saya, biar pikiran kamu tidak berubah-ubah seperti ini." Wanita ini tahu cara memerintahkan kepada orang lain. Aku hanya bisa bungkam.

Dengan cepat dia berdiri, masih menatapku dengan wajah kerasnya yang kentara.

"Besok Luna. Saya tidak ingin kamu lari." Tante Delila berlalu pergi dengan ucapan terakhir yang membuat aku tertunduk. Apa yang harus aku lakukan?

***

Aku ingin berlari. Tapi Lara berkata aku gila kalau aku lari, dia tak ingin aku malah di buru seperti binatang. Memangnya siapa yang akan memburuku?

Akhirnya di sinilah aku, membawa tas kecil untuk baju ganti. Setidaknya aku tidak tahu harus beberapa hari tinggal di sini, sampai Andre bisa meyakinkan maminya kalau kami memang lebih baik berpisah.

Aku mengangkat tangan untuk mengetuk pintu, tapi tanganku terhenti di udara. Pintu itu terbuka dengan cepat, menampakkan mata hitam yang tengah menatap bingung kearahku.

"Luna?" Suaranya penuh dengan tanya. Sungguh dia tidak tahu kalau Maminya datang menemuinku dengan suara tajamnya? Tapi melihat dia seterkejut ini aku yakin kalau dia memang tidak tahu. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Tanyanya melihat tas yang lumayan besar yang ku bawa.

Dapat kulihat kalau Andre memejamkan mata frustasi. Jelas dia tidak suka aku ada di sini. "Apa yang sudah dia lakukan padamu?" Andre mengangkat tangan untuk menyentuhku tapi tangannya terhenti seolah dia baru sadar kalau dia tak memiliki hak menyentuhku. Yang bisa aku lakukan hanya merasa terluka. Andre berdehem, "Apa yang Mami lakukan padamu, hingga kamu mau-mau saja datang kemari?" Apa sebegitu tidak inginnya dia bersamaku?

Aku menggeleng. "Hanya sedikit perintah." Ku berikan seulas senyum menyedihkan.

"Mami!" Belum sempat aku berkedip, suara teriakan Andre sudah lebih dulu terdengar membuat aku menatap ke balik punggungnya.

One Night (Abigail Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang