Prolog

591 157 70
                                    

Rumah, tempat bagi setiap orang untuk tinggal, untuk pulang dari setiap perjalanan, juga untuk menikmati hidup dan bersenang-senang bersama keluarga. Namun, keadaan itu sangatlah berbeda denganku. Kekacauan, kemarahan, bahkan kekerasan selalu dirasakan olehku saat berada di dalam tempat tersebut. Mungkin tidak hanya aku, sebagian orang yang dikatakan sebagai "broken home" pasti pernah merasakan hal yang sama denganku. Apakah kalian mengira bahwa itu hal yang wajar? Atau apakah itu pantas dilakukan? Aku bahkan tidak mengerti dengan keadaan keluargaku ini. Aku sungguh tidak ingin mendengar serta melihat perlakuan seperti itu, lagi.

Namaku Shakira Naura Ananda, keluargaku biasa memanggilku dengan sebutan Sasa, namun berbeda dengan teman-temanku, mereka lebih suka memanggilku Kira. Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku adalah lelaki dewasa yang sudah memiliki seorang anak, dan menurutku, dia adalah sesosok manusia yang paling damai didalam tempat tinggalku saat ini.

Kakak, dia bernama Bayu Ananda yang akrab dipanggil Abay, tapi aku lebih suka memanggilnya Abang. Percaya atau tidak, dia sering disebut-sebut sebagai cowok paling ganteng pada masanya, dan mungkin itu hanya di lingkungan sekolahnya. Ya, akupun harus merasa demikian, karena dia terlalu sering membawa seorang cewek ke rumah, lagi pula ceweknya pun selalu gonta-ganti. Meskipun Kakak memiliki sifat seperti itu, aku yakin dia sangat sayang kepada adiknya ini. Tahu kenapa? Karena aku gak pernah dikasih izin pacaran sama dia! "Kakak ingin yang terbaik untuk kamu," kalimat itulah yang selalu dia kicaukan setiap kali aku ingin bercerita tentang masa remajaku kepadanya.

Aku sering bilang ke Kakak tentang keadaan rumah, dan saat itu juga, dia selalu mencoba untuk menenangkan aku. Dia memang termasuk salah seorang lelaki yang bisa menaklukan hati perempuan, meskipun perempuan itu adalah adiknya sendiri. Aku selalu bilang kalau aku ingin pindah rumah bersama Kakak, namun Ibu selalu melarang perbuatan itu. Sampai suatu saat, orang tuaku berpisah, lalu Kakakku memutuskan untuk membeli sebuah rumah dan membawaku ke rumah barunya yang lokasinya cukup jauh dari rumah Ibu saat itu. Kami pindah bukan bermaksud untuk meninggalkan Ibu, tapi justru Ibu yang menyuruh kami melakukan hal itu.

Rumah pindah, tentu sekolah juga pindah. Keadaan ini membuat aku kehilangan seorang sahabat yang begitu dekat denganku, Rahma Khoerunnisa. Aku kenal baik dengan dia dari sewaktu kecil. Taman kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, hingga Sekolah Menengah Atas pun selalu sama, meski beda kelas tapi masih bisa ketemu saat istirahat, ke kantin bareng. Sekolah kita berbeda sekarang, namun dia akan tetap menjadi sahabat baikku, sampai kapanpun itu.

"Sa, libur semester kali ini kamu udah ada di rumah baru, kamu gak mau keliling daerah sini, biar hafal? Sekalian ke sekolah baru kamu juga," kata Kakak. Sedih, itulah yang kurasa saat ini. Aku tidak pernah mengharapkan keadaan menjadi seperti ini. Namun aku percaya, takdir Tuhan akan lebih indah dari apa yang setiap hamba-Nya harapkan.

"Mager Bang, besok-besok aja lah. Lagian sekolahnya aja masih libur, ngapain juga harus kesana!" jawabku acuh. "Masa anak baru yang cantik jelita ini males-malesan aja di rumah! Udahlab Dik, pindah lagi aja sono ke Ibu sama Ayah, hahaha!" Kakakku, dia memang suka bercanda, tapi ya itulah dia.

Akhirnya, aku dan Kakakku memutuskan untuk pergi ke sekolah itu saja. Bagiku ini adalah suatu keterpaksaan, tapi karena aku takut Kakak akan marah dan menendangku ke rumah lamaku, aku pergi mengikuti dia. Padahal aku tahu itu hanyalah sebuah candaan. Sesampainya disana, aku pikir tidak terlalu buruk datang ke tempat ini di hari libur seperti sekarang, meskipun suasananya terbilang sangat sepi disini.

Aku melihat sekeliling seolah-olah aku tidak pernah melihat bangunan seperti ini sebelumnya. Akhirnya aku bisa menilai seberapa bagusnya bangunan sekolah ini dan membandingkannya dengan sekolah lamaku disana. Mungkin tidak terlalu buruk, ini sama saja, namun terlihat lebih nyaman berada disini, dengan suasana baru.

Kakakku mengurus berkas pindah, sedangkan aku pergi berjalan-jalan untuk melihat keadaan sekolah ini. Aku sangat ingin menemukan perpustakaan yang ada di sekolah ini, karena aku tahu setiap sekolah pasti akan memiliki minimal satu perpustakaan, dan pengurus sekolah juga pasti mengerti diluaran sana ada murid-murid yang membutuhkan buku karena mereka suka membaca, termasuk aku. Sewaktu kecil, saat sedang bermain bersama Ibu, aku selalu membaca apapun tulisan yang ada di sekitarku. Tanda tutup di pintu toko, spanduk pemilihan Gubernur, bahkan merk mobilpun aku baca. Aku, Shakira Naura Ananda, seseorang yang selalu membaca setiap tulisan dimanapun tulisan itu berada. Meski mungkin menurut kalian itu terlalu berlebihan, tetapi suatu saat, setiap tulisan yang pernah dibaca itu akan menjadi sebuah manfaat, percayalah.

Kakakku pernah bilang, dia gak suka aku punya hobby seperti itu, "kurang menantang," katanya. Tapi ini aku, bukan dia, aku berhak memilih hal apapun yang aku suka tanpa ada paksaan dari siapapun, termasuk dia, Kakakku.

Hari semakin sore, aku dan kakakku pulang dengan menaiki motornya, karena bisa dibilang lokasi sekolah dengan rumah kakakku tidak begitu jauh, bahkan hanya dengan berjalan kaki saja bisa, tapi mungkin terlalu capek dan juga orang-orang zaman sekarang sudah jarang melakukan hal seperti itu, mungkin mereka gengsi.

Seminggu berlalu, aku merasa semakin nyaman berada di rumah ini. Tidak ada kekacauan, bahkan pertengkaran. Inilah yang selalu aku harapkan, mungkin tidak hanya aku, semua orang di dunia ini pasti ingin merasakan kedamaian, bukankah begitu?

"Sa, jagain Ade!" teriak Kakakku dari ruang tamu. Lagi-lagi nasib sial ini menghampiriku! Dulu, aku memang sangat ingin mempunyai seorang Adik, karena aku hanya memiliki seorang Kakak yang selalu memberi nasihat dengan cara memarahiku. Aku pernah berpikir, "kalo punya Adik enak juga kayaknya, bisa marah-marahin dia. Gimana aja kayak Abang ke aku, like brother like sister." Tapi percaya gak percaya, pernyataan aku ingin punya Adik karena alasan seperti itu ternyata salah, sangat salah! Apakah kalian mengerti maksud dari semua perkataanku?

"Sasa besok sekolah Kak, mau belajar." Aku menolak. Meski seharusnya Kakak itu gak percaya kalo aku bakal belajar, aku cuman pusing cari alasan, hehe.

"Iya juga ya, besok kamu sekolah, udah nemu temen barunya? Rahma gak sekolah disini loh, Sa.." tanya Kakak.

Benar juga apa kata Kakak, aku belum punya seorangpun teman di sekolah baru itu. Teman, seberapa pentingkah memiliki seorang teman? Apakah memang harus memiliki seorang teman? Apakah seorang teman bisa menjadi alasan kebahagiaanku? Meski itu tidak terlalu penting bagiku, kalau aku tidak memiliki teman, meski hanya seorang saja, berarti saat sekolah besok aku harus duduk sendiri? Belum lagi kalau tempat duduknya di ujung dan di bagian paling belakang. Masa iya aku cuman ngelamun aja gitu gak ada temen buat ngobrol. Stress ini, sungguh ia akan membunuhku.

When I'm GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang