Halaman terakhir, untuk kamu, A.
***
Beberapa hal menyakitkan terjadi dalam hidupku, kehilanganmu adalah salah satunya. Tidak banyak hal yang bisa membuktikan bahwa kamu pernah tinggal di sini, bahwa kamu bukan sekedar imajinasi. Selain rasa sesak yang menghantam dan kenangan manis yang sekarang justru terasa menyakitkan. Kamu seperti kabut, yang berlalu begitu saja. Tidak perduli berapa besarpun harapanku agar kamu tetap tinggal.
Lagi-lagi nyatanya kamu tidak terlalu berbeda dengan yang lain; hanya datang untuk pergi.
Euforia dan kebahagiaan yang kamu bawa saat datang tidak pernah sebanding dengan sakit yang kamu tinggalkan.
Masalahnya adalah; seberapa banyakpun, seberapa kalipun, seberapa seringpun kamu menyakitiku, aku masih tidak tau bagaimana caranya aku melupakanmu, bagaimana caranya aku menyisakanmu sebagai bagian dari masa laluku, bagaimana caranya menempatkanmu di belakangku dan tidak terus membuatku tertahan di tempat yang sama; yang segalanya dipenuhi luka karenamu.
Genggaman yang kamu lepaskan menyisakan tangan yang seperti kehilangan pegangan. Bahu yang kokoh itu kini bukan lagi tempat bagiku untuk bersandar. Dan mata yang teduh itu bukan lagi rumah bagiku. Penghuni baru tinggal disana sekarang, kamu terima dengan cara yang hangat seperti dulu kamu menyambutku, genggaman itu menyimpan tangan lain sekarang begitu erat seperti kamu tidak akan pernah saling melepaskan, dan bahu itu adalah tempat berlindung bagi orang lain sekarang. Dan semua itu makin memperjelas retakan-retakan yang kamu tinggalkan di sini tempat yang dulu kamu bilang sebagai rumah; hatiku.
Aku tau akan butuh waktu yang sangat lama sampai aku siap tidak lagi memandangmu dengan cara yang sama, tidak lagi berbicara denganmu dengan terbata-bata, tidak lagi merasakan sakit setiap kali kita berpapasan. Hanya saja sama seperti jatuh cinta sakit hati tidak pernah menunggu sebuah kesiapan. Mau tidak mau, siap tidak siap beginilah kenyataan yang harus aku hadapi; aku bukan lagi skema dalam kebahagiaanmu.
Aku hanya masa lalu yang kamu jejalkan dengan segala sesuatu yang kamu tinggalkan. Saat ini kamu sudah melangkah meninggalkanku, menyisakanku dengan punggungmu yang makin lama makin lenyap oleh jarak.
Aku bahkan muak dengan segala kalimat "Semua akan indah pada waktunya" atau "Akan ada yang lebih baik". Kalimat itu hanya topeng, hanya kalimat yang aku katakan pada diriku sendiri. Bagaimana menyedihkannya seseorang yang berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia akan baik-baik saja?
Lebih menyakitkan ketika aku menyadari hal lain; hanya aku yang mencintaimu sebesar ini, kamu tidak. Pertahananmu terlalu rapuh bahkan hanya untuk sebuah kebosanan. Dan hanya sebuah kebosanan yang akhirnya membuat semua usaha dan perjuanganku seperti abu. Berakhir sia-sia.
Kamu memang tidak terlalu layak untuk diperjuangkan.
Berulang kali aku meneriakannya, namun bisikan dari dalam terlalu nyata untuk menyadarkanku "Bagaimanapun memang hanya kamu yang ingin aku perjuangkan."
Aku terlalu yakin bahwa kamu menyakitiku tidak dengan sengaja. Aku terlalu percaya bahwa kamu memang masih laki-laki yang sama yang aku kenal setahun yang lalu. Yang tinggal disini bersamaku, menjadi obat bagi sakitku dan menentramkanku kerap kali mimpi buruk membangunkanku.
Kepercayaan yang terlalu bodoh, mengingat justru sekarang kamulah pergi, kamulah yang menciptakan luka, kamulah tokoh utama dalam setiap mimpi burukku. Kamu yang paling bertanggung jawab atas segala sesak yang mencekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepotong Kisah Tentangmu
Poetry#15 in Poetry (06 Desember 2017) Hanya tulisan yang tidak pernah kamu baca, dari seseorang yang nampak disampingmu. ©Copyright by InnayahPutri