V

29 4 0
                                    

Terpekur aku di sudut gelap, menatap nanar kepedihan, terselubung tawa, di sana yg kulihat hanya dua muka saling menatap iba, pada hayal dan di sisi lain pada kenyataan.

Mereka berbicara seakan tak ada yg mendengar keluhannya, tangisan pilunya, atau tawanya.

Begitu mereka sebut kepahitan tanpa tau rasanya; anta. Kepedihan membuat mereka terlalu peka pada kehilangan, entah apa yg dipikirkan.

Selalu merasa sendiri, tak ada yg paham arti ada. Ketiadaan adalah teman sejawat di kala dunia memojokkan mereka. Sebuah kata bisa berbagai makna, namun buat mereka tak ada bedanya.

Ada yg harus hilang dan kehilangan, bahkan sebagian dari dirinya  pada keheningan malam yg pekat dan kejam memamah kerisauan.
Bukan hal mudah dalam menempatkan diri di sekitaran keramaian, karenanya mereka memilih mencintai kesendirian.

Pada kepak burung gagak di ujung gereja tua itu, keheningan tercipta kepada sang penggugah sunyi hingga tiba di ufuk Timur habis terterpa sinar sang Surya; pagi.

-Monolog-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 11, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PercikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang