1. Munafik?

199K 15.1K 757
                                    

"Sudah siap hari ini, Chel?"

Gue seperti memandangi diri gue saat Ragel berdiri di hadapan gue. Dia sekarang, make wig panjang yang ntah dari mana di didapatnya, seragam sekolah gue dan tas gue. Cuma sepatu aja, bukan sepatu gue, karna ukuran kaki gue dengan kaki dia jelas beda.

"Lo ganteng," pujinya ke gue.

Apa perlu gue deskripsiin diri gue sekarang ini ke kalian? Okey, gue make wig pendek, baju seragam sekolah dia, tas dia, pokoknya hampir semua yang ada di tubuh gue milik dia. Gue emang bener-bener sinting kali ini.

"Ayo berangkat." Ragel melemparkan kunci motor sport-nya ke gue.

"Haruskah?" tanya gue dengan mengangkat kunci motornya.

"Kenapa? Lo kan bisa bawanya."

"Iya, cuma. Gue bisa item. Lo aja yang bawa motor. Gue tetep bawa mobil gue."

"Gak bisa gitu, lo harus inget. Gue adalah elo dan elo adalah gue. Lagian 'kan lo jadi gue. Gak masalah lo item."

"ARGGGHHH ...," teriak gue sebal. Gue menghentak-hentakkan kaki keluar dari kamar. "Kalo gue sampe item, mati lo bayar perawatan gue." Gue pun berjalan menuruni tangga rumah.

Andai tadi malam gue gak terjebak dengan ilmu hitamnya Ragel dalam merayu gue. Andai gue selama ini gak sholat bolong-bolong, andai gue rajin bersedekah dan mengaji, andai gue taat sama orang tua. Gue gak akan kena guna-gunanya si Ragel buat iya-in omongan dia. Gue pasti kuat melawan ilmu hitamnya.

Dua hari sebelumnya

Gue mengecek wajah gue sebelum keluar dari mobil, merasa tetap cantik dan akan selalu cantik. Gue mutusin buat keluar dari mobil gue.

Dengan dagu yang didongakkan, mata yang menatap lurus kedepan dan berjalan layaknya seperti model. Membuat beberapa orang yang menyadari kehadiran gue, langsung memandangi gue. Memperhatikan penampilan gue dari atas sampai bawah, memperhatikan jalan gue dengan tatapan kagum. Gue tau itu karna sejak dulu gue selalu jadi orang yang mengagumkan.

"Pagi Rachel." Tanpa melihat, menoleh bahkan meliriknya gue tau siapa dia. Dia adalah orang pertama yang paling berani terang-terangan deketin gue. Namanya, Marco. Lelaki ganteng dan populer, ketua tim futsal, anak yayasan, punya banyak uang tapi sayang bo-doh.

"Pagi, Marc." Gue tersenyum tipis. Beberapa lelaki terdengar bersorak kagum. Gue yang telah berada di depan kelas berhenti sejenak lalu menoleh ke arah Marco. "Gue masuk dulu, Marc."

Well, sebelum kalian bilang kalo gue munafik. Gue mau jujur satu hal, kalau gue itu memang munafik, pencitraan dan pura-pura polos.

Kalian harus tau, tidak semua orang berkesempatan menjadi cantik, pintar, bertalenta dan di-idolakan semua orang. Maka dari itu, gue akan mempertahankan ini semua, apapun dan bagaimanapun caranya. Menjadi yang sempurna, walau itu akan nyiksa gue perlahan.

"Rachel, lo udah ngerjain PR?" Gina berdiri di samping tempat duduk gue. Gue hanya menatapnya sebentar lalu mengangguk dan berjalan ke tempat duduk gue.

Ia masih betah berdiri di sana. Sedangkan gue, duduk di bangku. Memainkan ponsel tanpa perduli dengannya. "Gue boleh nyontek, gak?" Udah gue duga, ya untuk apa lagi dia nanyain PR? Untuk apa lagi dia berdiri di sini, rendahin derajatnya? Semua itu karna PR.

Gue pun mengambil buku gue dan langsung memberikannya.

"Makasih, Rachel. Lo emang sahabat gue paling the best." Cih munafik, sahabat eh?

The Most Wanted Girl (Telah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang