Gawat, Mama Hilang!

426 52 55
                                    

Waktu itu hari Sabtu. Aku lupa tanggal berapa. Pokoknya, Mama menjemputku sepulang sekolah. Adikku masih belum pulang karena pelajarannya menggunakan kurikulum baru, alhasil dia pulang jam dua belas lebih alih-alih jam sepuluh kayak sekarang.

Awalnya aku tidak tahu tentang peraturan itu, cuma tahu bahwa adikku pulang lebih lama dibandingkan kelas lain. Kutunggu dia sampai sekarat karena ternyata pulangnya berjam-jam kemudian. Sialan banget, 'kan?

"Tadi belajar apa?" Mama menanyakan pertanyaan resmi yang selalu dia lontarkan begitu menjemputku dari sekolah.

"Dikit pelajarannya," aku menjawab, lalu menjelaskan kejadian-kejadian kecil di sekolah seperti gurunya pidato ini, pidato itu, dan sebagainya.

Mama mengangguk-ngangguk sambil membanting setir ke kanan mengikuti jalan yang berupa belokan. "Di rumah lagi ada teman-teman Mama. Ada rapat kerjaan. Mama kudu beli gorengan, nih. Di mana, ya, enaknya? Yang langganan udah tutup, sih."

Aku tidak terlalu mendengarkan karena sedang bersenandung pelan menyamai lagu dari pemutar suara mobil. "Terserah Mama."

"Pamanmu udah di jalan. Tadi dia telepon Mama."

"Iya?" tanyaku memastikan. Paman yang dimaksud adalah saudara ipar Mama yang tinggalnya masih di dekat daerah tempat tinggalku. "Bibi ikut, enggak?"

"Ikut, katanya."

Separuh jalan menuju rumah, Mama bertanya lagi padaku sambil terus memandang ke depan (maklum, dia 'kan lagi nyetir). "Ada buku pelajaran yang harus dibeli, enggak?"

Aku baru ingat bahwa buku LKS IPA belum kubeli, dan sudah lama sekali kuingatkan diriku untuk membelinya, tapi kelupaan melulu. Sambil berkata, Makasih, Mama, karena udah bikin aku inget! dalem hati, kutolehkan kepala ke arahnya dan menjawab cepat-cepat, "Oh, iya. Ada LKS yang harus kubeli."

Beruntung toko bukunya belum kelewatan. Mama langsung memarkirkan mobil pas di depan toko. "Kamu turun, ya. Beli sendiri. Nih, uangnya," ujar Mama sambil memberikanku uang 50 ribu rupiah.

Aku sedang memikirkan hal lain, entah apa (namanya juga penulis amatir tukang mengkhayal), jadi tidak menoleh menatapnya dan langsung menerima uang tersebut tanpa banyak bicara. Mama mengatakan sesuatu lagi, tapi aku keburu membuka pintu mobil Avanza tanpa tedeng aling-aling.

"Dah, Ma!" seruku sambil membanting pintu. Teriknya mentari langsung menyambutku begitu sampai di luar.

Toko tempat hampir semua siswa di tempat tinggalku membeli buku pelajaran adalah Toko Buku Tiga Serangkai. Tempatnya tidak besar-besar amat, tapi cukup untuk meletakkan tumpukan-tumpukan buku di lantai tanpa mengganggu orang yang mau lewat.

Penjualnya, seorang bapak-bapak berbaju kaus sederhana yang tadi sedang mengetikkan sesuatu di komputer dekat pintu masuk, langsung mendongak begitu aku mendekat.

"Ada buku LKS IPA?" tanyaku sambil menarik-narik bagian perut kemeja sekolahku supaya menyembul sedikit lebih banyak dari rok panjang. (Soalnya mamaku pernah bilang, baju yang dimasukkin ke rok atau celana apa kek, ujungnya harus agak dikeluarkan. Biar enggak kayak badut gitu.)

Si bapak-bapak penjual mendongakkan wajah sedikit seperti sedang berpikir keras. "Yah, enggak ada, Dek. Lagi kosong."

"Kapan ada lagi?"

"Mungkin nanti sore atau malam," jawab si bapak-bapak penjual.

Aku cepat-cepat berbalik. "Oh, ya udah, makasih." Aku melangkah menuju ke depan toko, dekat jalan raya, tempat Mama memarkir mobil tadi.

Perasaanku yang tadinya sudah campur aduk antara kecewa dan sebal karena enggak dapet LKS memburuk begitu sadar mobilku -- mobil Mama -- tidak ada.

Gawat, Mama Hilang!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang