Prolog

656 6 0
                                    

Nuggie’s POV

 

                Aku menghela nafas dengan lega ketika Chron-mecha besar yang biasa digunakan untuk bertempur berwarna biru dan merah didominasi oleh warna hitam merapat ke hangar. Aku melompat keluar dari Chron bernama Evelyn itu dan mendarat dengan mulus di tepi hangar. Dengan satu gerakan membuka jumpsuit berwarna hitam yang kukenakan sampai pinggang dan mengikatkan lengan panjangnya ke pinggang, membiarkan keringat mengalir di lengan kaos putih tanpa lenganku. Goggle yang biasanya ada di kepalaku juga dibiarkan menggantung di leher.

                “Nug!” aku menoleh ketika mendengar namaku dipanggil.

                “Hei, Al.” sapaku.

                Albedo melemparkan handuk tepat ke mukaku dan aku hanya tertawa ketika pemuda berambut silver yang memakai jaket putih tanpa lengan dengan kaos lengan panjang berwarna abu-abu dan celana berwarna hitam dengan hiasan rantai di sisi kirinya itu menjitak kepalaku. “Yang kuingat kau hanya izin untuk tes Evelyn 15 menit dan apa aku harus kuingatkan berapa lama kau ada di luar angkasa? 3 jam.” katanya.

                “Aku selalu lupa waktu tiap jadi pilot, kau tahu soal itu lebih dari siapapun, Albedo.” sahutku ringan.

                “Ya aku tahu betapa maniaknya kau dengan mesin.” Albedo memutar bola matanya.

                Aku tersenyum menatap sahabatku satu ini lalu pamit padanya dan berlari pergi ke pinggir hangar yang lain. Ditengah aku berlari aku menyambar sebuah papan mirip papan snowboard berwarna hitam transparan. “Hangar nomor 2 itu kosong?” tanyaku sambil berlari menghampiri seorang gadis berkacamata yang sedang bertugas disana.

                “Kosong, Boss!” sahut gadis berkacamata itu sambil mengangkat jempolnya.

                “Tunggu sebentar! Boss mau keluar dari hangar lagi?” tanya seorang pemuda yang bekerja dengan Ellia disana. Pemuda yang bersama Ellia itu pasti pegawai baru, yah, semua pegawai yang lama bekerja disini pasti sudah mengerti kebiasaanku yang ekstrem ini.

                “Sip! Tolong dibuka ya, Ellia. Aku mau pakai sebentar.” kataku sambil mengedipkan sebelah mata yang disambut dengan tawa Ellia.

                “Boss memang selalu seperti itu, Sean. Biasakanlah.” sahut Ellia.

                Ellia menekan sebuah tombol di dekatnya dan pintu besar milik hangar bernomor 2 itu terbuka lebar. Angin berhembus kuat menampar pipiku dan tanganku dengan spontan memakai kembali goggle yang ada di leherku. Aku melompat sambil meletakkan papan hitam transparan tadi di kakiku, merasakan sensasi magnet yang membuat kakiku menempel dengan kuat diatas papan itu. Papan Airskate yang kunaiki melesat begitu kakiku menginjaknya.

                “Terima kasih Ellia!” seruku sebelum Airskate yang kunaiki melesat keluar dari hangar yang dijawab dengan lambaian tangan dari gadis berkacamata itu.

                Aku melesat ke bawah dari hangar yang ada digedung pencakar langit ditengah laut, perusahaan yang kini dipimpin oleh Albedo, hingga kulihat air laut berwarna biru kehijauan yang cantik. Aku membungkuk sedikit, merasakan air laut di jemariku kemudian melesat kembali ke langit. Tak ada yang bisa menandangi kehebatan angin kalau kau tidak merasakannya sendiri dengan tubuhmu dan Airskate adalah andalanku. Aku tidak ingin sombong, tapi aku dikenal sebagai atlet Airskate, meskipun aku tidak pernah ingin serius menjalani hidupku sebagai atlet karena kecintaanku pada mesin, mesin pesawat luar angkasa.

                Aku sudah bekerja seminggu di hangar dan aku senang saat Evelyn, Chron yang rusak parah berhasil kuperbaiki. Masih jelas didalam ingatanku bagaimana reaksiku pertama kali melihat Evelyn dan merasakan sensasi pertama kali bisa mengendarainya, meskipun hanya menjadi copilot saat itu. Jujur saja, menjadi copilot itu tidak mudah apalagi saat pilotmu adalah seorang gadis perfeksionis yang akan selalu mengambil alih tugasmu dan mengendalikan sendirian Chron yang seharusnya dikendalikan oleh dua orang itu.

                Aku tersenyum tiap mengingat gadis itu. Gadis berkulit putih pucat dengan rambut pendek hitam legam yang hampir tak pernah mengeluarkan ekspresinya. Semua kalimat yang keluar dari mulutnya nyaris dengan intonasi datar tanpa ekspresi. Meskipun diberi label sebagai senjata biologis hasil perang, gadis itu sangat berarti bagiku. Tanpanya aku mungkin masih seorang Nuggie yang tidak akan pernah tahu siapa sebenarnya diriku sendiri. Tentu saja, aku anak manusia yang normal dan aku menyukainya. Tidak. Bisa dibilang, aku mencintainya dan aku tidak peduli seburuk apa masa lalunya.

                “Hika.” gumamku ketika mengingat nama gadis bermata biru tosca itu. Sudah 5 tahun berlalu sejak aku pertama kali bertemu dengannya. Petualangan kami yang berlansung selama setahun itu terasa begitu cepat bagiku. Banyak hal yang kami lalui dan begitu banyak rahasia yang terkuak, termasuk masa laluku yang aku sama sekali tidak ingat, dihilangkan dari ingatanku demi kebaikanku sendiri.

                Aku tidak pernah menyesal terlibat dalam petualangan yang benar-benar mengubah hidupku. Tidak pernah menyesal pernah mengenal sosok gadis yang luar biasa dalam hidupku, Hika. Aku tersenyum membayangkan wajahnya saat itu. Ya, aku sama sekali tidak pernah menyesal mencintainya.

                Namaku Nuggie dan ini adalah hidupku sekarang, dimana semuanya terjadi berawal dari sebuah ‘kebetulan’. Sebuah kebetulan yang mengubah hidup manusia. Kebetulan yang lahir dari sifat buruk manusia.

UtopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang