Pelangi itu

29 3 0
                                    



Hendi melepaskan pelukannya, hatiku terasa hampa lagi, sebenarnya aku masih ingin berada dipelukannya hatiku terasa hangat.

Aku meneguk cream coffee yang sedari tadi berada di meja, rasanya sudah dingin mungkin karena sejak lama coffe ini aku diamkan.

Tidak ada yang berbicara lagi diantara kami, aku jadi teringat semua kenangan yang terjadi antara aku dan hendy di jakarta, aku dan hendy berteman sejak SMA. Kita sering melakukan hal – hal apapun bersama, bolos sekolah lalu pergi ke bioskop hanya untuk menonton film dengan harga yang murah, jalan – jalan di taman hendi menulis sedangkan aku hanya menjadi pengganggu, tidur-tiduran di taman sambil menikmati senja, atau hanya duduk – duduk dipinggir jalan memperhatikan orang – orang sekitar, berbisik pelan dan tertawa keras sampai kadang menjadi pusat perhatian.

Dulu aku tidak menyukai kopi hitam, tapi semenjak berteman dengan hendy, aku menjadi penyuka kopi. Kata hendy, kopi adalah minuman para pemikir, hhmmp. Dari dulu hendy memang hobi sekali menulis, hampir semua tulisan Hendi aku suka. Sampai suatu saat hendy bilang, kalau sebagian tuliasannya terinspirasi oleh zahra. Ya, Zahra adalah mantan pacarnya Hendi sewaktu SMA, seingatku mereka hanya pacaran tidak lebih dari satu tahun. Tapi Hendy sering sekali bicara tentang Zahra. Zahra begini, Zahra begitu, Zahra Zahra Zahra, hhh aku bernar-benar cemburu dibuatnya. Tetapi walaupun aku tidak suka aku masih selalu menjadi pendengar yang baik, terpaksa menjadi pendengar yang baik tepatnya. Sampai akhirnya aku mual dan bosan.

"Doa itu seperti pelangi, bukankah setelah hujan pelangi tidak selalu hadir ? tapi pelangi pasti akan hadir bukan, entah dihujan yang keberapa.
Bagiku tidak ada yang salah dengan menunggu, selama kamu ikhlas dalam berdoa" salah satu tulisan hendy untuk zahra.

Saat itu aku hanya bisa berharap dan berdoa suatu saat nanti Hendi akan terbuka fikirannya, menyadari bahwa disini, didekatnya ada seseorang yang benar – benar nyata peduli kepadanya. Ya, aku menunggu pelangiku datang dengan doa yang ikhlas.

"Maafkan aku ana" akhirnya hendi memulai pembicaraan membuyarkan lamunanku. Suaranya datar, sangat pelan.


Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba ponselku berbunyi.

ALVIAN: an, gue dibawah. Cepetan!

ANNA: Iya bawel, tungguin.

"sepertinya Alvian udah jemput hen" ucapku yang dibalas anggukan oleh Hendi

"Alvian tau kamu disini, kamu mau pulang an?" ada nada ketidak relaan disuara Hendi. Tapi aku benar-benar tidak bisa berada lama dalam situasi seperti ini. Aku bingung, kepalaku pusing aku ingin pergi.

"Iya, tadi aku bilang sama Alvian kalau aku mau kepenginapan kamu malam ini dan aku minta untuk dia datang menjemput. Aku pulang dulu ya hen" hanya itu yang bisa aku katakan kepada Hendi aku mengusap air mata dan merapihkan diri.

Sampai aku pergi hendi tidak berbicara apa – apa, ia hanya menatap dengan tatapan aneh yang baru pertama kali aku lihat.



~Hendi~

Aku terduduk lemas mataku hanya bisa melihat pundak Anna yang sedang berjalan pergi sampai benar-benar hilang. Aku benar-benar frustasi, kenapa disaat semuanya terlambat aku baru berani untuk dating menemui Anna, kenapa aku baru sadar sekarang kalau aku benar-benar jatuh cinta.

Iya, cinta. Mungkin aku benar-benar cinta dengan Anna, kalau enggak cinta enggak mungkin sesakit ini bukan, rasanya sakit banget melihat foto Anna yang sedang berpelukan dengan pria lain. Tanganku mengepal, aku melepaskan tinju keudara, aku kesal, kesal, kepada diri sendiri yang sebegitu bodohnya.

Entah siapa yang memutar musik ini, sayup - sayup terdengar lagu float "3hari untuk selamanya"

"Lewat sudah tiga hari tuk slamanya dan ku kalah detik – detik didalamnya.
Tumbuh sejuta rasa dihati yang dulu diingkari mungkinkah cinta itu disana, dua hati mereka"

"Langit biru setiap liku jalan itu, akan selalu melukiskan kisah itu
Rindu yang kian terbendung lama akan mencapai batasnya.
Terbuai indah kenangan baru, sesal jadi penyatu
S'galanya tlah berlalu"

"Njiiir! Siapa sih yang nyetel musik kayak gini, ah liriknya ngeledek gue banget" gumamku pelan.

Tanpa sadar aku menangis, terisak. Ah, sakit banget ini dada, teringat kenangan masa – masa aku yang masih selalu bersama Ana. Ana selalu menggenggam tanganku ketika aku kecewa dengan perlakuan Zahra. Pernah waktu itu, Ana menemaniku menulis dirumahku sampai dia tertidur disofa. Setelah ana terbangun, aku menunjukan sebuah puisi kepadanya. Ana tersenyum, terlihat diwajahnya dia sangat senang dan memuji tulisanku. Aku bilang kepadanya "Itu puisi untuk zahra, baguskan? kalau kamu suka aku yakin zahra pasti suka"

Lalu ana menunduk memperhatikan lagi puisi itu, menoleh kepadaku dan dia tetap tersenyum.


Yaa Tuhaan getir banget rasanya, aku tau An yang kamu rasain dulu gimana, sekarang akupun merasakannya.

"Diana, maafkan aku"
"Mengapa aku harus sebodoh ini, mengakui cinta yang sesungguhnya setelah aku kehilangannya, maafkan aku ana" Aku menangis baru kali ini aku menangis seperti ini, akumembiarkan air mata terus mengalir membasahi pipi.

Yah, walaupun aku laki-laki enggak seharusnya aku secengeng ini tapi toh disini enggak ada siapa-siapa yang akan tahu. Ini benear-benar enggak bisa ditahan, kalau kamu kehilangan orang yang sangat kamu sayang, aku jamin segala gengsi akan hilang seketika.

Inilah penyesalan terbesar, ketika kita terlalu fokus dengan seseorang yang seharusnya menjadi masa lalu. Dan kita mengabaikan seseorang yang seharusnya menjadi masa depan, dan kini sudah tidak bisa dimiliki.

 Dan kita mengabaikan seseorang yang seharusnya menjadi masa depan, dan kini sudah tidak bisa dimiliki

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sory kalau banyak typo, tapi Please Votenya yaaa :)

Missing RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang