Room No.1 : Fire

948 42 0
                                    

Namaku Renata Dila.

Aku berada di ruangan ini dikarenakan satu hal.

Aku membunuh Ronald, managerku.

Aku membunuhnya karena ia telah berkali-kali memperkosaku dan jika aku tidak menuruti kemauan bejatnya, karirku akan hancur karena ia akan menyebarkan foto-foto skandalku itu ke media cetak.

Maka, aku membunuhnya dan membiarkan istrinya mati.

Hari ini, hari kematianku. Tetapi aku harap permainan yang baru saja dikemukakan oleh pria aneh bernama Zeiro itu bisa membebaskanku.

Aku dan ketiga orang yang tidak pernah ku lihat sebelumnya diajak masuk ke sebuah ruangan putih dengan lima buah pintu. Pintu pertama adalah pintu di mana kami masuk. Lalu sisanya adalah empat buah pintu berlainan warna yang tersusun dengan simetris di ruangan berbentuk segilima ini.

"Ini adalah ruangan api..." kata Zeiro sambil menunjuk tiap pintu, "kalian bisa melihat bukan ada empat buah pintu berbagai warna? Merah, kuning, hijau dan biru. Permainan ini sangat mudah, tiap dari kalian memilih satu buah pintu dimana nanti kalian akan masuk. Di dalamnya ada sebuah papan yang harus kalian injak, dan dalam hitungan ke sepuluh papan tersebut akan membelah menjadi dua dan kalian semua akan terjatuh ke bawah."

Apa maksud orang ini?

Kami semua akan jatuh ke bawah?

"Tapi, tenang aja," kata Pria aneh itu lagi, "aku telah menyiapkan tiga buah matras di bawah sana sehingga kalian akan mendarat dengan nyaman."

"Apa maksudnya dengan tiga, sedangkan kami berempat?" tanyaku tiba-tiba.

"Maksudnya, salah satu dari kalian akan menuju tabung api yang akan meleburkan tubuh kalian sampai menjadi debu."

Kakiku terasa menjadi lemas sekali.

Perkataannya itu dan cara ini mengatakan perkataan itu benar-benar membuat jantungku berdetak semakin kencang. Aku pun melihat respon yang sama pada gadis satu lagi yang ada di sampingku. Sedangkan kedua pria lainnya terlihat agak tenang, terutama pria yang dari tadi banyak bicara itu.

"Aku sudah mengundinya, Januar kau yang pertama memilih!"

Januar tersenyum lebar, senyumannya itu sama mengerikan dengan pria aneh yang membawa kami ke ruangan ini.

Ia sepertinya sudah menentukan pilihannya sejak awal, itu terbukti saat ia berjalan tanpa ragu menunju pintu berwarna biru dan berdiri di depannya.

"Selanjutnya..."

Mengapa pria aneh ini membuat suasana semakin tegang? Aku berharap aku yang dipanggil selanjutnya. Aku benar-benar ingin memilih warna hijau dan tidak ingin warna merah. Mendengar kata ruangan api selalu membuatku berpikir bahwa pintu warna merah adalah api.

"Sisilia."

Sisilia terlihat sedikit ragu saat menentukan pilihannya, ia berjalan perlahan ke arah pintu warna kuning dan tidak lama langsung berpindah menuju pintu warna hijau. Ia berbolak-balik pada kedua pintu itu dan sama sekali tidak memandang pintu berwarna merah. Aku rasa ia berpikiran sama denganku.

Akhirnya masih dengan ragu ia memilih pintu berwarna kuning.

Aku dan pria satu lagi saling bertatap muka, lalu namanya dipanggil.

Aku kesal sekali mengapa aku yang terakhir?

Pria yang dipanggil Ginanjar itu segera menuju pintu berwarna hijau kesukaanku.

"Kau yang terakhir nona!" kata Zeiro, "dan kau tidak punya pilihan lain."

Ya, aku tidak punya pilihan lain.

Aku dengan berat hati berjalan menuju pintu berwarna merah.

"Silahkan kalian masuk dan menunggu!!!"

Aku masuk perlahan dan segera menemukan papan yang dimaksud pria aneh itu. Aku berdiri dengan detak jantung yang tak menentu, sambil menatap pintu-pintu lain yang satu persatu ditutup oleh Zeiro.

Akhirnya Zeiro menutup pintuku.

Ruangan sempit ini menjadi gelap sekali.

Entah ini perasaanku atau bagaimana?

Aku merasakan hawa panas dari kakiku.

Hitungan dimulai.

Jantungku makin cepat berdetak.

Sepuluh....

Sembilan...

Delapan...

Tujuh...

Enam...

Lima...

Empat...

Tiga...

Dua....

Satu...

Aku menutup matamu dan papan kayu dibawahku terbuka...

Aku merasakan panas yang tidak bisa ku jelaskan...

House of ZeiroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang