Prolog

74 11 0
                                    

Gadis itu memandang lurus ditemani hampa, seakan memberi seruan bahwa beberapa hari terakhir ini adalah sahabatnya.

Langit mendung dan bau petrikor mencuat dari tanah. Membuat gadis itu menarik dan menghembuskan napas dengan rasa lega di dadanya.

Hujan, ia menyukainya.

Rambutnya terlihat acak karena angin yang tak kunjung reda membelainya. Gadis itu mendongak, dan wajah penuh lukanya terlihat.

Dia akan kembali, bukan?

Ia mengusap wajahnya kasar, melirik sepasang kekasih yang memilih pergi untuk menghindari hujan.

Pasti kembali, kan?

Gadis itu merogoh sakunya, berkutat pada ponsel pintarnya. Ia sibuk berpikir, lalu tampak mengetikkan sesuatu di layar.

Ia mengirim pesan, lagi. Nomor itu lagi dalam kurun waktu 2 tahun belakangan ini. Hanya saja, pesan hari ini lebih singkat dari biasanya.

Aku duduk di taman ini, sendiri.

Ia kembali mengedarkan pandangannya, tanpa peduli tetesan air yang mulai menyentuh kulit pucatnya. Ia menekan buku-buku jemarinya dengan takut.

Walaupun tak yakin sampai kapan seperti ini.

Derasnya hujan semakin memperkeruh hati, membuat gadis itu kembali terisak. Berkali-kali ia mengusap matanya, seakan menutupi air mata.

Jelas, hujan membantunya. Air mata memang seakan tak ada, tapi bekas itu ada.

Apa kau benar-benar tidak ingin kembali?

Without StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang