S A T U

51 9 0
                                    

Menjadi murid baru memang dihadapkan dengan dua pencampaian akhir.

Kau diterima, atau tidak.

Tapi sepertinya tidak untuk Vanya. Gadis yang lima puluh persen hidupnya bergantung kepada kursi roda itu meringis saat mobil yang ia tumpangi berhenti.

Bukannya tak suka, ia lebih ke arah takut.

"Bunda, perut aku sakit." Keluh Vanya dengan ragu begitu Bunda membantunya untuk duduk di kursi roda yang berada di luar mobil.

Seakan pandai membaca mimik wajah, Bunda menyentil dahi anaknya itu. "Jangan banyak alesan, ya."

Vanya mencebikkan bibirnya dan memilih menatap gedung dengan 4 lantai di depannya. Gedung yang akan menemaninya selama 2 tahun itu tampak segar dengan warna hijau yang mendominasi.

Kursi roda didorong melewati lapangan, melewati anak-anak yang hanya sekedar lewat atau memang bermain tak jelas di sana.

"Kelas Mipa 5, di mana kemarin katanya?"

"Ehm," Vanya mengingat-ingat percakapan singkat Bundanya dengan salah satu staff sekolah kemarin siang. "Di dekat tangga―mungkin?"

Merasa tak yakin dengan jawaban putri semata wayangnya itu, Bunda menghentikkan beberapa anak yang tengah bersenda gurau. Tas di punggung mereka menandakkan mereka baru saja tiba.

"Kelas Sebelas Mipa 5, di mana ya?"

Ketika gadis itu tersenyum menanggapi. Salah satunya menjawab, "Oh, itu kelas kita. Lurus aja dari lorong itu nanti tinggal belok."

"Kalian di kelas itu juga?" Ketiga anak itu mengangguk.

"Wah, kalau gitu titip anak tante, ya?" Mata Vanya membola mendengar Bundanya yang mulai asal berbicara. "Saya mau langsung ke kantor soalnya."

Sejak kapan Bunda buru-buru ke kantor?

"Ih, Bunda."

"Sekalian kamu kenalan sama mereka, teman sekelas kamu loh ini."

Seakan tak peduli akan pikiran anaknya yang masih takut ingin masuk ke kelas dengan keadaan fisiknya, Bunda langsung pamit dan pergi meninggalkan Vanya.

"Ehm―" Gadis berambut pendek dan bermata sipit itu berdehem. "Nama lo siapa?"

Vanya tersenyum tipis. "Vanya Angelica. Vanya aja."

Gadis dengan hijab langsungnya itu mengacungkan telunjuknya. "Gue Putri."

"Kalau gue Tiara." Tambah gadis dengan rambut terkuncir setengah.

Gadis yang bertanya terlebih dahulu ikut tersenyum kecil. "Gue Desra."

Vanya mengangguk, merasa bersyukur teman barunya terlihat baik.

"Pindahan dari mana, Van?" Tanya Putri sembari memimpin jalan.

"Dari Singapura." 

Ketiga anak yang tampak berteman baik itu terdiam sejenak hingga Tiara berteriak heboh. "Wah, serius? Keren dong."

"Tapi lo bukan anak blasteran kan, ya? Apa emang iya?" Tanya Putri yang malah membuat Vanya tertawa.

"Ngga, kok. Aku cuman terapi jalan di sana. Gak keluar ke mana-mana, soalnya aku homeschooling."

Suasana seakan berubah canggung. Sebenarnya Vanya memaklumi, mereka kan gak tau dan cuman nanya. Tapi untungnya gak berangsung lama, mereka tiba di depan kelas.

Kursi roda Vanya di dorong ke dalam kelas, membuat kelas mendadak sunyi dan semua pasang mata menatapnya.

Tanpa sadar jemari Vanya mencengkeram kursi rodanya, menatap balik dengan takut. Jujur saja, ia terlalu banyak menonton film tentang pembulian.

"Eh, ada anak bau." Seseorang diantara mereka memecah kesunyian. Membuat Vanya mengernyit bingung. Bau?

Baru maksudnya?

Lelaki yang berseru tadi maju dan mengulurkan tangannya. "Hillari, cowok tertampan seangkatan Mipa."

Kelas mendadak ricuh karena ucapan Hillari. Anak-anak menyorakinya sementara Vanya tertawa.

"Gue emang gan―"

"Pergi, gak? Sebelum tangan gue ngenain pipi lo, nih." Ujar Desra dengan kepalan tangannya.

Hillari mencibir. "Elah, Des. Sensian amat, PMS lo?"

Mata Desra melebar. "Ngomong lagi, gue pites lo."

Vanya kembali tertawa. Ternyata tidak buruk, teman-temannya tampak tidak ada yang mempermasalahkan fisiknya. Jadi apa yang harus dikhawatirkan?

"Anak basket siapa aja di sini?"

Teriak seseorang yang tiba-tiba ada di ambang pintu. Lelaki itu berkacak pinggang sembari menghitung beberapa anak yang mengacungkan tangan.

"Ayo ke lapangan, bawa bajunya."

Mata lelaki itu mengedar, memastikan anak buahnya segera melakukan apa yang ia suruh. Dan matanya tak sengaja menatap Vanya, serta kursi roda milik gadis itu.

Vanya memang cacat fisik, namun bukan berarti ia suka diperhatikan seperti itu.

Setelah Vanya membuang muka, barulah lelaki itu pergi dengan disusul beberapa orang dibelakangnya.

"Makin hari kaya orang kesetanan aja dia." Cibir Tiara.

"Siapa?" Tanya Vanya, matanya tetap menatap ambang pintu.

"Yang tadi, Kak Dion."

"Maklum sih, Ti. Mau ada tanding kan sama sekolah tetangga. Mana mau kalah dia."

Putri mendorong kursi roda Vanya, lalu mengarahkan telunjuknya ke bangku paling belakang. "Lo duduk di sana, ya? Samping Desra. Nanti kursinya tinggal kita singkirin."

Vanya mengangguk semangat. "Makasih banyak, ya."[]

Without StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang