T I G A

32 7 0
                                    

Drrtt.. Drrtt..

Dion menghentikan langkahnya saat merasakan getaran pada sakunya. Dengan malas ia merogoh sakunya dan membuka notifikasi yang terpampang jelas kalau ada satu pesan masuk via line.

Gilang Prasetya : Debby, lo udah ketemu sama dia? Gue barusan ketemu sama dia dan dia pake kursi roda.

Dion menghela napasnya panjang. Ia kembali memasukkan handphonenya ke dalam saku celananya dan berjalan dengan terus mencoba tidak memikirkan apapun.

Drrtt.. Drrtt..

Lagi, lagi. Getaran itu berhasil membuat Dion marah tapi tetap mengecek handphonenya yang kembali terdapat pesan dari orang yang sama.

Gilang Prasetya : Dia nggak inget siapa gue. Dan dia kaya bukan dia. Gue takut dia beneran amnesia.

Gadis itu boleh saja berpura-pura tidak mengenali Dion. Tapi jika yang ia pura-pura lupakan adalah Gilang, sepertinya itu bukan pura-pura. Mengingat masa lalu gadis itu, rasanya memang sangat tidak mungkin.

Pasti memang ada sesuatu yang terjadi di sini. Entah pikiran apa yang sedang merasuki Dion, jawabannya hanya satu. Jika masih ada peluang, aku yang akan berkorban untuk memperbaikinya.

**

Bell pulang baru saja berbunyi. Membuat para murid SMA Dillian mengemas barang-barangnya secepat mungkin dan pergi meninggalkan sekolah setelah guru yang mengajar pada jam terakhir itu telah pergi meninggalkan kelas. Tapi tidak dengan Vanya, gadis itu masih melamun di tempatnya dengan barang-barang yang masih memenuhi mejanya.

"Kacau lo, Van." Celoteh Desra yang gemas melihat meja Vanya. "Lo mau nginep disini?"

"Hah?" Vanya memutar kepalanya, memang kenyataannya kelas ini sudah kosong. Hanya tinggal Vanya, Desra, Tiara, dan Putri. Dan si kutu buku-Rendra yang masih sibuk dengan buku komik narutonya.

"Keterlaluan. Dan jangan bilang lo nggak tau kalo Bu Mirna ngasih tugas essai 10 halaman?" Melihat mimik wajah Vanya yang lagi-lagi terkejut dan seperti orang kelimpungan membuat ketiganya berdecak dan menggelengkan kepalanya beberapa kali.

Ini benar-benar parah. Terlebih lagi Vanya baru hari pertama di sekolah ini. Itu sangat.. Mengejutkan. Melamun saat jam pelajaran berlangsung.

"Well, udah pulang ya?" Vanya mengemas barang-barangnya dan menaruh tasnya di atas pangkuannya. "Kalian kalo mau balik, duluan aja. Gue di jemput nyokap."

Ketiganya manggut-manggut.

"Duluan, Van." Vanya membalas lambaian ketiga temannya itu dan menatap punggung mereka hingga hilang di ambang pintu kelas.

Vanya melirik Rendra sekilas. Cowok itu menutupi seluruh wajahnya dengan komik narutonya. Tapi ada yang aneh. Cowok itu membaca.. Dengan terbalik? Ia tidak mungkin membaca. Pasti ada yang tidak beres.

"Rendra!" Rendra gelagapan saat mendengar seruan Vanya. Ia melirik Vanya dan semakin terlihat gelagapan. Memang pasti ada yang tidak beres. "Lo lagi ngapain?"

"Ah- Anu-" Cowok itu memandang keluar pintu dan menghembuskan napasnya lega. Vanya mengernyitkan dahinya. Tidak mengerti apa yang sedang Rendra perhatikan. Hingga akhirnya Vanya mengikuti arah pandang Rendra.

"Gilang?"

Cowok di ambang pintu itu nyengir. "Lo kenal sama gue?"

Vanya menyingkirkan rambut panjang hitam pekatnya yang menutupi sebagian wajahnya. "Ya, kan lo yang ngenalin nama lo tadi pagi."

"Oh, masih nggak kenal." Gilang menoleh ke belakang saat mendengar suara dentuman sepatu dan benda padat berkali-kali. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke dalam kelas. Tidak ingin mengambil resiko jika sampai terkena bola basket.

Without StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang