E M P A T

48 7 2
                                    

Aku disini tepat sebelum mentari tenggelam. Memandang kelabunya awan yang semakin menyiksa diriku. Sampai kapan aku harus menunggumu seperti saat ini?

Pesan itu. Dion menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Mencoba melupakan pesan per pesan yang ia pernah dapatkan secara bertubi-tubi setiap harinya. Dulu. Saat ia sudah genap sebulan berada di Jakarta, Dion memutuskan untuk mengganti nomornya. Ia merasa risih dengan pesan-pesan itu. Tapi pesan itu seperti memiliki perekat yang sukses menempel hingga dua tahun lamanya.

Aku tau kesalahanku. Tapi bisakah aku mendengar suaramu? Kumohon, sekali saja.

Apa jadinya jika Dion tidak dapat melupakan semua itu? Ditambah lagi kehadirannya yang harus kembali ia lupakan mentah-mentah dari awal. Tidak semudah itu.

Brak.

Dion terperanjat dan segera terduduk di atas kasurnya. Lalu dalam kurun waktu beberapa detik ia kembali membuang wajahnya. Tidak ingin menatap sosok di ambang pintu itu.

"Gue nemu informasi tentang dia. Lo har-"

"Cukup! Mending sekarang lo pergi!"

Tidak, dia tidak akan menyerah. Kakaknya tidak seperti itu. "Ini penting, Dion!"

"Ini juga penting, Lang! Mending lo yang ngurus. Bukannya lo juga yang ngurusin dia waktu disana? Iya? Katanya lo nyeselkan? Mumpung ada kesempatan, perbaikin."

"Nggak! Gue tau selama ini lo masih ngarepin dia. Tapi ini penting! Lo harus denger. Please, lo boleh bilang gue apapun asalkan lo mau denger ini."

Dion tidak menjawab. Dan Gilang menyimpulkan kalau Dion berkata iya. Jadi Gilang kembali mencoba mengingat kejadian tadi sore saat ia masih bersama Vanya.

**

Vanya mengaduk-aduk jus alpukat di hadapannya. Tanpa menoleh kemana pun. Pandangannya hanya ke minuman berwarna hijau kecoklatan itu.

"Van- sesuai janji lo. Gue cuman pengen lo ngenalin diri lo. Kalo lo beneran nggak nyaman, kita pulang setelah ini."

Vanya mengangkat kepalanya. "Sebegitu pentingnyakah? Emangnya apa urusan semua kehidupan gue sama lo? Nggak ada kan?"

"Tapi ada yang lebih dari itu."

"Tapi buat gue-"

"Kita selesain sekarang dan setelah itu kita balik. Mending lo langsung bilang. Gue cuman mau lo ngenalin diri lo. Nggak lebih."

Vanya mendelikkan matanya, tanda tidak suka. Lalu tangan kanannya yang sedari tadi terkepal di atas paha perlahan melemas. Ia menarik napasnya dalam-dalam.

"Gue Vanya Angelica, pindah ke SMA Dillian 3 hari yang lalu. Gue sebelumnya homeschooling dan tinggal di Singapura dua tahun. Jadi-"

"Singapura?" Gilang menatap Vanya tidak percaya. Seakan Vanya baru saja melakukan hal yang sangat terlarang dimata Gilang.

Vanya mengangguk dan Gilang kembali bertanya. "Nggak mungkin. Sebelum ini lo nggak pernah tinggal di Bandung? Lo nggak pernah kenal gue ataupun Dion?"

Mendengar nama Dion disebut Vanya sontak mencari kalung yang ternyata masih berada di saku roknya. Ia menggeleng pelan.

"Gue kakaknya Dion. Dan gue rasa cukup. Kita pulang sekarang."

Vanya masih diam di atas kursi rodanya. Ia hanya pasrah saat Gilang mendorongkan kursi rodanya untuk kembali menuju mobil.

**

"Nggak mungkin." Dion bersuara dengan sangat pelan saat Gilang mengakhiri ceritanya. "Jadi maksud lo, dia emang beneran nggak amnesia?"

Gilang mengangguk. "Urusan gue udah selesai. Setelah ini, semuanya gue serahin ke elo. Jaga semuanya baik-baik. Karena gue udah cukup pernah ngancurin masa lalunya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 31, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Without StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang