1.5

20 2 1
                                    

Kejadian yang terjadi seumur hidup itu cukup membuahkan rasa trauma di dalam batin kedua gadis itu.
Clara tidak bisa mengatur napasnya selama beberapa menit, terlalu sakit menyaksikan tubuh para Pelintas yang dulunya adalah manusia itu memgejang di sana. Memikirkan betapa sedihnya keluarga mereka yang masih waras.

Salju turun semakin deras. Beberapa tersangkut di sela-sela rambut gagak gadis itu. Sheila menengadah ke atas, baru menyadari bahwa langit sudah cukup suram untuk dinamakan malam. Surai ungu cakrawala melukis bumi, seolah semuanya sebuah karya majestik Van Gogh. Membuat gadis itu ternganga, ternyata masih ada hal indah setelah sebuah kiamat.
Selanjutnya yang dia harapkan adalah sebuah pelangi, yang sekarang langka ditemukan.

Smith lalu memutuskan untuk beristirahat sebentar di bawah pohon spruce yang mati, terlihat mengerikan apalagi dalam keadaan bersalju dan gelap. Api unggun tidak cukup untuk menerangkan beberapa area.

Bagaimana jika seekor beruang datang dan menerkam mereka?

Sampai sekarang, pertanyaan itu adalah pertanyaan tertolol yang terlintas diotaknya.
Prioritas utama Sheila adalah menghangatkan tubuh kecilnya pada api unggun yang menyambar udara, mencegah terjadinya pembekuan.
Tangannya mengelus memar pada leher, mengingat kembali kejadian beberapa jam yang lalu. Mayat-mayat bergelimpangan diatas tumpukan salju setinggi lima senti itu. Mata mereka terbuka, melihat horor yang menyerap nyawa mereka. Sheila beruntung bahwa dia bukan salah satunya.

Pada saat mereka berjalan, sebelum beristirahat. Pemandangan mengerikan terlihat sekali lagi. Dimana seorang dua wanita paruh baya bergelantungan pada salah satu batang pohon. Mata mereka menjelit dan tali-tali itu mencekik mereka sampai tidak bisa memasok oksigen lagi. Tampaknya kejadian tersebut sudah lama sampai-sampai tubuh mereka dilapisi oleh es.

Sheila tidak bisa menahan air matanya. Mengalir begitu deras, mencaci maki dunia yang ditinggalinya, merindukan dirinya sebelum Bencana. Dirinya yang hanya seorang siswi lulusan SMA, suka membaca buku tebal fiksi sains dan pendiam. Mempunyai tujuan yang jelas untuk menjadi Duta Besar.
Dan tidak lupa dengan keanehan yang dia perbuat sehingga dia harus melawan keegoisan dunia sendirian.

Sheila tidak mengenal dirinya yang sekarang, dirinya yang bersikap sok melindungi, dirinya yang dianggap spesial oleh sebuah lembaga yang berlagak seperti kecanduan narkoba. Membuat dunia baru, atau apalah namanya itu.

Memuakkan.

Clara berjalan kearahnya, memeluk dirinya sendiri. Rautnya khawatir sekaligus takut. Darah membeku disudut bibirnya ketika dia terjerembab, tersandung akar pohon. Setidaknya lukanya tidak separah Sheila.

"Lehermu, baik-baik saja? Seharusnya kau tidak boleh menunduk terlalu lama, kau habis dicekik kau tahu?" Sheila tersenyum, menyeka air matanya. Alih-alih menjawab, dia hanya menggeleng kecil.
"Nggak masalah untuk nangis. Semua cewek juga gitu, kok. Emosional," lalu melanjutkan. "bahkan aku menangis saat jatuh tadi, bukan karena sakit-"

"Tapi sudah muak. Aku sudah muak," potong Sheila, disusul oleh anggukan setuju Clara. Gadis Aussie tersebut merangkul pundak Sheila.
"Percayalah padaku, kita semua sudah muak. Rasanya ingin mati saja. Tapi aku tidak bisa, aku ingin hidup. Meskipun kematian bisa didapatkan dimana saja, aku masih ingin hidup." Sambung Sheila, memikirkan Ila. Adiknya itu, yang mungkin sudah menganggapnya mati. Membayangkan episode dimana adiknya menangisi kakaknya, dan meminta Sheila untuk tetap berada disisinya, berjanji untuk tidak menemui kematian.

ThirteenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang