Gadis itu membuka matanya pada saat bau oksigen dan karbon bercampur aduk dan menusuk indra penciumannya. Namun kemilau putih lampu diatasnya mencoba menghentikan kelopak matanya untuk membuka lebih lebar. Butuh beberapa detik dirinya untuk membiasakan cahaya untuk masuk melalui iris kayunya. Kemudian gadis itu akan mendapatkan jawabannya, sebentar lagi.
Pikirannya berlalu lalang lebih cepat dari biasanya. Dia melihat selang-selang, kabel-kabel, dan logam-logam kecil menempel di tubuh kecilnya. Suara dengung mesin di belakangnya hampir membuat pendengarannya kembali berdenging. Gadis itu mencoba untuk menggerakkan matanya untuk memindai ruangan yang ditempatinya sekarang sebelum kemudian dia mencoba untuk mengingat apa yang terjadi sebelum dia berada di ruangan ini.
Kepingan skenario mulai membentuk jauh di kepalanya. Menimbulkan kepanikan sejenak, lalu pernapasannya seakan tersumbat.
Dimana aku? Tanyanya, berharap bahwa bagian lain dirinya akan menjawab. Kepalanya bergerak, menoleh ke segala arah. Gadis itu merasakan sesuatu yang bergerak diatasnya. Berat adalah kata pertama yang menaungi pikirannya saat merasakan tekanan di ubun-ubun gadis itu. Seolah menyedot sesuatu di dalam kepalanya.
Gadis itu sempat hendak berteriak. Tapi masker yang menutupi hampir separuh wajahnya itu terus mengeluarkan bau oksigen yang dihisapnya. Menghilangkan salah satu bau yang menyengat, yang hampir membuatnya muntah karena terlalu menusuk sampai ke tenggorokannya. Bau kloroform.Kini gadis itu ingat apa yang terjadi.
Matanya melebar. Panik kembali menjalar dari ujung kepalanya. Tangannya terangkat untuk memberontak, berusaha untuk melepaskan apapun yang melekat pada dirinya. Dia tidak gila. Gadis itu harus memberitahu mereka bahwa dia tidak gila.
Dia tidak ingin hidupnya berujung seperti kakaknya; yang berubah menjadi sosok kumuh, kurus, dengan otak yang rusak, mengkhayal hal yang tidak-tidak. Hampir hendak memakan adiknya sendiri. Kanibalistik.Sejak kiamat yang menerpa bumi beberapa bulan yang lalu. Manusia mulai bertingkah aneh, dan semuanya berawal dari kepanikan. Dan beberapa hari setelahnya, kepanikan tersebut mempengaruhi mental beberapa orang yang lemah. Para manusia yang masih waras memanggil mereka Pelintas. Para Pelintas yang sudah cukup menderita segera dilarikan menuju rumah sakit untuk diobati. Kakaknya dinyatakan tidak mempan dengan obat tersebut, kemudian mereka mengirimnya menuju rumah miring untuk dikurung. Dipisahkan dari sosok waras.
Gadis itu berhenti sejenak untuk mengawasi beberapa suster berbaju biru tersebut mengutik layar tablet sebelum mereka menyadari bahwa gadis itu mencoba untuk membebaskan diri.
"Astaga!" Terka salah satu dari mereka sembari berlari kecil untuk mencegah gadis itu untuk berbuat lebih. "Dia sungguh keras kepala. Bahkan saat dia masih tertidur." Suster yang lebih tua itu mulai berceloteh, membantu menekankan kepala anak itu agar kabel yang melekat tidak lepas.
"Lepaskan maskernya! Dia bisa bernapas tanpa alat itu!" Seorang dokter (gadis itu bisa tahu karena pakaiannya yang spesifik) memerintahkan salah seorang suster pirang untuk melepaskan masker secara perlahan. Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Setelah itu megap-megap, bagai dikejar segerombolan Pelintas parah. Matanya berair dan memerah. Gadis itu menggeleng perlahan, berusaha untuk mengatur respirasi menjadi ritme biasa dengan susah payah.
"Aku tidak gila. Aku bersumpah." Dia bergumam sebelum melirik kepada dokter wanita dengan ras negro tersebut. Gadis itu memelas, dengan volume yang lebih keras. "Aku bukan Pelintas. Kumohon, aku masih punya keluarga. Mereka membutuhkanku. Ayahku dalam kondisi sekarat, sibuk mencari cara agar kami bisa bertahan hidup. Aku seharusnya membantu mereka. Aku harus mengurus adikku... Aku harus mengurus adikku." mata gadis itu berlinang, mengharapkan iba dari mereka. Napasnya masih tersumbat, akibatnya dia harus menangkup udara melalui mulut kecilnya. Beberapa suster bertatap muka lalu mengangguk. Dokter negro itu berjalan ke sebelah kanan ranjang gadis itu. Merogoh sesuatu di dalam kotak plastik berplakat kontaminasi. Kemudian disela-sela jarinya terdapat jarum tebal, dengan cairan hijau zamrud kental didalamnya.
"Aku baru saja bilang bahwa aku tidak gila!" gadis itu berseru, badannya memberontak lebih kuat dari sebelumnya. Para suster hampir tidak bisa tenang. Mata mereka menyiratkan suatu kepanikan, akan tetapi sikap mereka tidak menunjukkan reaksi pemaksaan. Pegangan mereka sangat kuat, berbeda dengan ketenangan mereka.
"Jangan khawatir, sayang. Ini tidak akan sakit. Hanya sedikit." Gadis itu menggeleng, menangis lebih keras. Tubuhnya bergerak lebih cepat untuk melepaskan genggaman suster-suster disampingnya. Namun semua pemberontakannya sia-sia saat jarum tebal itu menusuk uratnya. Pasokan udara gadis itu tertahan menahan menyut yang merambat disekujur tubuh. Sampai pengelihatannya kabur kembali, menyisakan bintik-bintik hitam yang perlahan menjadi kegelapan yang kembali menyelimutinya."Ya, gadis ini adalah orangnya."
***
Akhirnya, setelah keasikan fangirling sama sekolah sehingga lupa waktu untuk ngecek Watty lagi. Pluskuotayangsekaratkarenakebokekanyanglama*cough*. Kembali lagi biar nggak dibilang penulis PHP. tapi yaa, maaf, aku emang lagi sibuk. Ya know, school stuff. wth it's sppose to be mean.Ini cerita sci-fi pertamaku, jadi maaf jika ngga pro amat seperti senior yang lain. comment, constructive critique, and vote will be fully apreciate. tnks. Maaf jika jelek.
Believe in urself!
-Sheila ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Thirteen
Fiksi IlmiahDunia sudah dilanda oleh sebuah kiamat; ketidakstabilan cuaca, ledakan supernova, dan perang panik membuat satu per satu negara runtuh. Harapan adalah kehampaan. Dan bertahan hidup hampir tidak mungkin. Semua ini membuat Sheila merasa gila. Hampir t...