First

29 0 0
                                    

Tett... teett... teettt...
Bel sekolah berbunyi begitu syahdu. Memenggal lamunan seorang gadis yang memiliki bibir tipis.

"Bagaimana ini, aku tak mungkin memberikan surat ini pada orangtuaku" seorang gadis itu nampak gelisah dengan surat yang digenggamnya terus ia putar-putar.

Sudah dua bulan ia belum membayar biaya les bahasa Inggris di sekolahnya. Ini menjadi masalah terlebih kondisi ayah yang dirawat akibat serangan jantung yang nyaris merenggut nyawanya. Serangan jantung itu datang tiba-tiba sesaat tahu bahwa beberapa karyawan restoran menipu dan membawa kabur uang yang baru saja akan disetor ke bank. Bahkan restoran sederhana yang dibangun susah payah itu kini terancam gulung tikar. Semua harta sudah dijual untuk membiayai perawatan ayah. Kini sang ibu harus benar-benar mengatur keuangan keluarganya. Biaya pendidikan putra putrinya, biaya makan dan biaya yang lain harus ia atur agar lebih hemat. Demi pengobatan suami tercinta.

Pun dengan putrinya, Asia, ia kini semakin berpikir dewasa. Meskipun usianya terbilang remaja labil. Namun sebagai anak tertua ia dituntut untuk berpikir dewasa, ia memikirkan nasib keluarganya. Ia tak ingin menjadi benalu untuk keluarganya. Menyusahkan. Meskipun tak ada orangtua di dunia ini yang akan menganggap anak adalah benalu. Tapi tetap saja ia ingin membantu bukan cuma menyusahkan. Selama ini kedua orangtuanya berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan Asia. Kini giliran ia menyumbangkan tenaga beserta pikiran untuk membantu orangtuanya. Bukankah sejatinya begitu arti keluarga? Saling membantu dan mengasihi.

Sudah beberapa hari ini setelah pulang sekolah ia mengelola restoran milik ayahnya. Setidaknya ia berharap ada uang yang didapat dari hasil penjualan, lagi pula jika tutup terus yang ada restoran itu benar-benar gulung tikar. Restoran yang minimalis dengan seharusnya memiliki sepuluh karyawan tapi tiga diantaranya berkhianat. Tak punya perasaan melakukan hal ini.

Usianya masih 16 tahun, masih amat belia untuk mengelola restoran. Tapi apa salahnya dia mencoba? Toh dia cantik dan menawan. Mungkin keistimewaan ini bisa membantu menarik hati pelanggan. Lagi pula dia juga sedikit tahu tentang pembukuan dan keuangan karena itu yang saat ini dipelajari di sekolahnya. Setidaknya ini menjadi point plus bagi gadis bermata sipit itu, ia bukan hanya mendapatkan teori tapi juga mempraktikannya di kehidupan sehari-hari.

"Mbak sudah datang?" Tanya Annisa salah satu pelayan restoran ini yang berusia kisaran 21 tahun.

"Jangan panggil mbak. Justru saya yang panggil mbak pada mbak Annisa" gadis itu menimpalnya dengan senyuman yang sungguh menyejukkan.

"Ok deh Asia Permatasari Ivon... Ivonsha"

"Ivonskha mbak, pakai 'kha' hehe" seru gadis itu membetulkan.

Tak heran jika banyak yang kesulitan menyebut penggalan akhir namanya. Nama yang langka.

Ya IVONSKHA. bukan Ivonsha. Bukan juga Ivonkha. Memakai 'kha' cukup sulit bagi orang yang baru mengenalnya. Terkadang banyak diantaranya hanya menyebut dua kata saja dari tiga suku kata namanya. Karena sulit dan tak ingin salah menyebut nama juga tentunya. Karena kalau salah saja Asia langsung membenarkannya.

Namanya Asia Permatasari Ivonskha Sedikit aneh dengan namanya 'Asia' seperti sebuah nama benua. Pun dengan dirinya yang aneh, selalu ada saja hal-hal konyol yang dilakukan. Dia berperawakan ideal banyak gadis iri dengan fostur tubuhnya. Bermata sipit, bibir tipis dan berambut ikal yang menjuntai sebahu. Ia pun tipikal gadis yang pemberani, disaat teman kelas menjerit-jerit ketika ada kecoa, ia justru dengan berani menangkapnya. Belum lagi ketika kelas 5 SD sempat hampir diculik, dengan sigapnya ia memukul dan menyemprotkan cairan balon yang baru saja dibeli. Sejenis cairan sabun cuci itu tepat mengenai mata sang penculik dengan sigap ia berlari dan meminta pertolongan. Ada saja ide spontannya. Namun, dia juga gadis yang ceroboh dan pelupa. Pintar dalam pelajaran bahasa Indonesia apalagi jika membahas drama. Dia jagonya. Bahkan dia ikut ekstrakulikuler teater yang aktif memerankan berbagai macam karakter. Untuk pelajaran yang lain dia tidak terlalu pintar. Tidak bodoh juga. Dia masuk kategori standar.

ThrowbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang