Chapter 2 - Tiga Hati dan Satu Cinta

1.4K 72 16
                                    


Entah ada yang menunggu atau nggak, entah ada yang menikmati atau nggak, tapi nggak ada salahnya diterusin. Ini mentok untuk hari ini, chapter selanjutnya hari2 selanjutnya juga ya...

Heem... di sini ada secuil kisah tentang tiga hati, Alvin, Ify dan Rio.

_______________________

Matahari baru saja muncul, tapi sudah berhasil masuk dan menelusuri wajah mulus dari seorang laki-laki yang masih dalam dunia mimpinya. Silau yang tertangkap matanya, mau tidak mau membuatnya membuka mata itu. Pusing dan mual. Itu yang pertama kali dirasakan ketika kesadarannya kembali. Ia bangkit dari posisi tidurnya dan beralih menjadi posisi duduk. Memijat keningnya sesaat untuk mengurangi sakit kepalanya. Setelah dirasa lebih baik, ia kembali membuka matanya. Menelusuri setiap inci dari ruangan tempatnya berada. Dan kesadarannya langsung kembali ketika ia tidak mengenali ruangan itu.

"Lo udah sadar?" Suara itu membuat Alvin menoleh, dan mendapati Sivia berdiri tidak jauh darinya dengan rambut basah serta handuk kecil di tangannya.

"Lo..." Alvin tidak bisa menyembunyikan kekagetannya melihat desainer muda yang ia temui kemarin ada di depannya.

"A-apa yang terjadi?" tanya Alvin sambil melihat dirinya. Ia sudah melepas dasi, jas dan sepatunya. Untung saja kemeja dan celananya masih terpasang dengan benar di sana. Coba saja kedua jenis baju itu sudah tidak terbentuk, ia pasti sudah melakukan sesuatu malam sebelumnya.

Sivia duduk di kursinya dan meneguk kopi panas yang sudah ia buat sebelum ia mandi. "Gue yang harusnya tanya. Lo ngapain mabuk-mabuk datengin butik gue?" Sivia memutuskan untuk menggunakan bahasa informal mengingat perbincangan ini bukan sebuah bisnis.

"Gue mabuk?" tanya Alvin. Lebih tepatnya bukan pertanyaan untuk Sivia tapi pertanyaan untuk dirinya sendiri. Ia mencoba mengingat hal yang ia lakukan semalam. Pulang dari mallnya, mampir ke salah satu toko roti, dan... ah ia ingat. Ia melihat Ify malam itu, bersama seseorang. Dan setelah itu ia pergi ke bar langganannya untuk... untuk minum. Ya, ia ingat sampai hal itu, selebihnya... blank, ia tidak ingat sama sekali.

"Untung gue masih di sini. Kalau nggak, lo mungkin bakal tidur di depan sana. Lo mau?" Sivia menawarkan kopinya.

"Nggak, terimakasih," tolak Alvin. Tapi Sivia tetap berdiri dari duduknya dan membuatkan Alvin satu gelas kopi tawar panas. Ia menyerahkannya ke Alvin. "Paling nggak ini bisa ilangin efek mabuk lo." Alvin menatap Sivia dan menerima cangkir di tangannya.

"A-apa... apa gue semalem ngomong yang nggak-nggak?" tanya Alvin. Sivia menatapnya heran.

"Ma-maksud gue... gue... gue nggak ingat apapun saat gue mabuk. Jadi apa... apa gue ngomong sesuatu tadi malem?" tanya Alvin lagi.

Sivia berpikir sejenak. "Seinget gue nggak ada rahasia atau aib yang lo katakan. Lo cuma nyuruh gue bikin gaun pengantin yang cantik dan..." Sivia sengaja menggantung ucapannya, menunggu respon Alvin.

Alvin menatap Sivia dengan takut. "Lo nyanyi beberapa lagu," lanjut Sivia sambil menahan tawanya.

"Aiiissh..." Alvin menundukkan kepalanya malu. Ia tahu bagaimana tingkahnya bernyanyi saat mabuk. Gabriel, sahabat sekaligus sekretarisnya pernah merekam dirinya bernyanyi dalam keadaan mabuk, dan itu sangat... sangat memalukan. Tawa Sivia meledak saat melihat wajah Alvin memerah.

"Kasih sayangmu... ketegaranmu... membuatku damai...," nyanyi Sivia sambil menirukan nada Alvin semalam.

"Diem!" teriak Alvin. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Sivia semakin tidak bisa menahan tawanya. Perutnya terasa sakit karena kebanyakan ketawa. Alvin mengambil dasi dan jasnya, memakai sepatunya dan berdiri.

Design of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang