Malam itu hujan turun dengan derasnya. Saat yang tepat baginya untuk bermain dengan gitarnya, mengaluni lagu-lagu idolanya, Adele. Tetes-tetes hujan yang membasahi kota tak ia biarkan untuk membasahi hatinya, walaupun ia ingin hujan terus turun selama ia mengusahakan agar air matanya tidak turun. Selama ia mengumpulkan semangat hidupnya yang sempat surut. Selama ia berusaha menyatukan keping-keping hatinya.
Bibirnya menyuarakan lagu-lagu Adele ketika pikirannya dipenuhi banyak pertanyaan, tak sebanyak kemauannya untuk menemukan setidaknya satu jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya. Tak banyak juga yang ia bisa lakukan selain mewujud-nyatakan perasaannya dengan menggoreskan tinta di atas lembaran-lembaran yang ada di bukunya. Mungkin suatu hari nanti akan penuh otaknya oleh melodi-melodi yang seirama dengan baris-baris lirik yang tergores di bukunya. Setidaknya itu lebih baik daripada pikirannya dipenuhi dengan nama pria yang dulu ia puja setinggi-tingginya.
Setidaknya dua jam Gilda habiskan malamnya bersama hujan dan gitarnya. Sulit untuk menghadapi sakit hati, terlebih pria yang Gilda puja – Navad – bukanlah miliknya. Mungkin mereka berdua tercipta untuk bersama, tetapi belum ada jalan yang menunjukkannya. Sadar akan hal itu, Gilda bertekad untuk melupakan masalahnya dengan Navad . Meski itu adalah tekad yang ke-1001 kalinya, harapannya masih sekuat tekad pertamanya, yaitu meluputkan nama "Navad" dari hatinya, sepenuhnya.
Setahun berlalu, bisa dibilang ia berhasil. Berhasil melewati rintangan di SMA-nya dengan nilai yang cukup bagus. Berhasil masuk ke universitas impiannya. Berhasil melupakan pria itu. Dan berhasil menulis beberapa lagu yang ia siapkan untuk direkam di dapur rekaman. Banyak sudah jalan yang sudah Tuhan berikan padanya, tetapi masih ada satu jalan lagi yang diinginkan oleh hati nuraninya.

KAMU SEDANG MEMBACA
JALAN
Short StoryTerkadang kita harus mencari jalan sendiri, bukan menunggu untuk ditunjukkan ke sebuah jalan.