SEORANG AYAH
Oleh : C. Prasetyo
Matahari menampakkan sinar kemerahan dari balik awan yang berarak di sudut barat. Sinar kemerahan matahari itu sayu, mencoba meneduhkan hati seorang ayah yang sedang merindukan putrinya. Merindukan kehadirannya untuk dipeluk, disayang, dan diberi kebahagiaan.
Aku adalah seorang Ayah yang merindukan suatu hari di mana putriku menghampiriku sepulang dari mencari nafkah di saat senja hari seperti ini. Menanyakan, apakah aku lelah? Sambil menarik tanganku untuk menuju ruang tengah dan menikmati secangkir teh yang ia siapkan untukku. Semua rasa lelahku telah terobati dengan melihat wajahnya.
Awalnya aku mengira hidup sederhanaku ini sudah sempurna. Karena aku merasa semua telah lengkap, kebahagiaan secara hakiki sebagai seorang Ayah telah aku dapatkan. Hingga peristiwa itu terjadi, di mana eksistensiku sebagai Ayah benar-benar dipertanyakan.
Hari ini tepat tanggal 17. Senja hari, tak ada sambutan dan secangkir teh darinya. Terukir di batu nisan di hadapanku, "Lahir : 17 Januari 2000". Bahkan dia belum genap 15 tahun saat harus kembali ke pangkuanNya. Aku membersihkan debu-debu yang menempel di batu nisannya. Meyakinkan, apakah yang terukir di sana adalah nama putriku? Apakah yang berbaring di dalam sana adalah benar-benar putriku? Apakah matanya sudah benar-benar terpejam tanpa mendengar dongeng dariku seperti saat kecil aku sering membacakan dongeng pengantar tidur untuknya? Itu semua benar, itu adalah makam putriku.
Secara tak sadar, badanku bergetar. Getaran tangis yang selalu muncul saat aku mengingat peristiwa itu. Masih terekam jeritannya yang memekakkan telinga, isak tangisnya menyayat hati. Aku tak kuasa memandangnya, hanya bisa memejamkan mata dan melihat bayangan wajahnya yang meringis kesakitan sambil menangis kencang. Aku Ayah tak berguna, seperti yang aku bilang tadi, eksistensiku sebagai Ayah benar-benar dipertanyakan. Hanya karena sengketa tanah, putriku menjadi korban kekerasan seksual lawan sengketaku. Putriku diculik saat baru pulang sekolah dan aku menyusulnya setelah mendapat telepon dari pria laknat itu.
"AYAH ... TOLONG!!!" Aku bisa merasakan ketakutan dan kesedihan yang tersirat dari jeritan itu.
Beberapa orang suruhannya sudah menghajarku habis-habisan hingga aku lemah tak berdaya. Mereka mencekal tangan dan leherku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Berteriak pun harus memaksa, rasanya sakit berkat pukulan beruntun yang mendarat di perutku.
"SALSA ... SALSA ... SALSA...." Berulang kali aku menyebut nama putriku. "TOLONG JANGAN LAKUKAN ITU! ... SALSA." Aku meronta, berharap suaraku bisa terdengar orang-orang. Nihil, semua telah terencana. Gudang itu sepi dan jarang terjamah.
Aku berusaha berontak dengan segala sisa tenaga yang aku punya. Tiga orang bertubuh kekar, cengkeramannya di tubuhku sangat kuat. Aku melihat kejadian itu, dengan seringaian menjijikkan di wajah pria berumur 40 tahun, bos dari tiga algojo yang mencengkeramku ini membekap mulut putriku dengan kasar, menindihnya tanpa ampun. Pria itu gila, pria itu biadab, keparat, entah apa lagi kata-kata sebutan yang pantas ditujukan kepada pria yang tak lebih mulia dari binatang itu.
Dan bergantian, pria itu ganti mencengkeram lenganku, menggantikan salah satu lelaki kekar yang sebelumnya mencengkeramku. Perbuatan biadab itu terjadi kembali, begitu terus hingga pria terakhir melakukan hal yang sama.
Dengan kejinya mereka meninggalkan putriku setelah mendapat kepuasan lahir. Hanya tinggal kami berdua di ruangan itu. Hawa panas yang tadi menyeruak ke seluruh ruangan karena amarah dan nafsu, menjadi dingin kembali, hampa dan mencekam. Putriku terbaring lemah, matanya terpejam, dia terus-terus memanggil-manggil namaku, membuat hatiku tercabik-cabik, "Ayah ... Ayah ... Ayah...."