02: Pulanglah!

18K 967 15
                                    

Barang siapa tidak dicoba dengan bencana atau kesusahan, maka tidak ada sebuah kebahagiaanpun di sisi Allah.

¤¤¤

"Mah... adek pamit. Mama sama papa jaga diri. Ingat minum obatnya. Jangan lupa makan."

"Jangan pergi, nak. Jangan..."

Dia melangkahkan kakinya keluar rumah itu. Pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Mengalah. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Dulu sewaktu kecil juga ia sering mengalah. Sangat mengalah. Dan kini, biarkanlah ia juga mengalah.

Air matanya sudah habis. Ia tau, ia harus tegar. Keluarga impian yang pura-pura bahagia, hanya itu yang menggambarkan keadaannya.

Bukan kedua orang tuanya yang mengusirnya, namun kakaknya. Ia pergi. Ya... ia berani. Biarkanlah ia pergi, biar kakaknya puas. Biar ia bisa berjumawa dengan kekayaan orang tuanya.

Kekayaan? Ingin sekali ia tertawa. Jika kekayaan bisa membeli surga, korupsi akan menjadi hal yang lumrah. Apakah uang akan dibawa mati? Bahkan orang yang miskin dengan iman nya yang baik bisa mendapatkan seluruh isi bumi di akhirat sana.

Ah... sudahlah.

Ia tau kalo orang tuanya gagal mendidik mereka. Tapi kini, biarkanlah ia selalu menyematkan nama kedua orang tuanya di setiap doanya. Memohon ampun atas segala apa yang telah orang tuanya perbuat. Hanya itu yang bisa ia lakukan.

Doa untuk orang tuanya dari anak yang berbakti. Berbaktikah ia?

"Kenapa lo?" tanya Adit yang muncul dari balik pintu ruangan Wulan. Wulan menghapus jejak air matanya di pipi, menghapusnya dengan punggung tangan, sedetik kemudian ia tersenyum ke sahabatnya. "Ingat nyokap bokap lo?"

"Nggak apa-apa," balas Wulan. Ia membenarkan duduknya. Adit duduk di kursi tamu di hadapan Wulan. "Ada apa? Bukannya lo harusnya ada di Lombok?"

"Gue balik tadi pagi, Jane bilang lo lagi di KL kemarin, gue langsung mikir lo balik ke Indonesia. Dan Alhamdulillah benar," jelas Adit. Wulan hanya tersenyum. "Resort yang di Yogyakarta udah beres dan bakalan digelar grand opening. Lo mau datang?" tanya Adit. Wulan terdiam. Yogyakarta? Berarti ia harus... "Empat tahun, Lan. Empat tahun udah berlalu. Nyokap-bokap lo pasti kangen elo. Lo nggak mikirin itu?" tegas Adit. Wulan terdiam. Ia tau jika Adit bakalan berbicara seperti ini. Pulang. Kembalilah. "Kenapa? Masih sakit hati dengan semuanya?"

"Dit..."

"Waktu? Sampai kapan? Sampai luka sembuh? Sampai lo berdamai dengan masa lalu? Itu yang membuat lo nggak nikah-nikah sampai sekarang? Masa lalu itu? Ketakutan lo?" tebak Adit. Nusuk di hati Wulan. Wulan hanya terdiam memandang sahabatnya itu. "Lo nggak akan sembuh kalo lo nggak mulai bergerak untuk menerima. Lo nggak akan keluar dari segala penilaian pikiran lo kalo lo nggak pernah berdamai."

"Dit..."

"Gue cuma mau lo bahagia, Lan. Nggak lebih. Sebagai sahabat lo yang selalu melihat senyuman lo, walaupun lo penuh luka. Semangat lo, walaupun lo penuh dengan kesedihan," jelas Adit. Wulan hanya tersenyum. 'Gue cuma mau lo bahagia.' Perkataan yang simpel, namun bermakna. "Lo pernah bilang, Jika lo nggak bisa untuk menulis kebahagiaan orang lain. Jadilah penghapus untuk kesedihan orang lain. Setidaknya, gue ingin menghapus kesedihan elo."

"Gue tinggal setahun kenapa pada tambah dewasa semua ya?" tanya Wulan. Bercanda dengan cengirannya yang khas. Adit hanya tersenyum tipis. "Jazakallah khoiran katsiran, Dit. Atas doa yang terucap dari mulut lo. Semoga Allah mencatat semua ucapan lo di langitNya," balas Wulan. Adit hanya tersenyum. "Tapi, atas semua yang terjadi dalam hidup gue, dalam perjalanan gue, gue bahagia kok. Sekarang? Alhamdulillah gue bahagia. Sedih? Laa tahzan InnaAllaha ma'ana. Jangan bersedih, Allah bersama kita."

Sudut Ruang HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang