Ku lirik jam di dinding kamarku, waktu menunjukkan pukul satu tepat. Aku mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Dira hari ini di cafe biasa. Sekedar bertemu sambil berbincang- bincang ringan. Aku masih punya waktu sekitar setengah jam lagi untuk sampai disana sesuai janji kami untuk bertemu pukul 14.30 wib. Apalagi lokasi cafe yang tak jauh dari rumahku membuatku tak perlu terburu-buru.
Ku buka laci meja rias yang terletak di sudut kamarku. Satu demi satu laci itu ku periksa, " dimana ya ? " gumam ku di dalam hati sambil berfikir mengingat dimana terakhir kali aku meletakkan jam tangan kesayanganku. Aku benar-benar tak bisa mengingat semua itu dengan jelas, terkadang aku berdecak menahan kekesalan yang sudah mulai merasuki diriku. Di laci pertama dan kedua aku tak menemukannya, ku buka laci yang terakhir , ku lihat tumpukan buku-buku harian lama ku yang telah habis ku tulis dan beberapa benda masa SMA yang ku simpan disana serta sebuah kotak kecil berwarna merah muda. Seharusnya aku tak perlu membuka laci ini, karena mustahil jam tangan itu ada disana. Mengingat laci ini sudah lama tak pernah ku buka. Tiba-tiba saja tanganku tergerak mengambil kotak merah muda itu, ku hapus debu tipis yang lengket di atasnya. Ketika aku ingin membuka kotak itu tiba-tiba ponsel ku berdering, ku letakkan kotak itu di atas meja lalu meraih ponsel ku yang terletak di sebelahnya. Nama rena yang tertulis di layar segera ku jawab panggilannya itu " iya Dir.."
" kamu dimana Al, aku udah di cafe nih,,..." kata Dira
" iya sabar ya Dir, nih aku udah siap sebenarnya tapi aku lagi sibuk nih nyari jam tangan dari tadi nggak ketemu- ketemu " jelasku.
" yah Alya, ya udah deh buruan ya Al " terdengar nada Dira agak lirih.
" oke " kata ku mengakhiri pembicaraan kami.
Aku mulai lagi memutar otak mengingat-ingat apa-apa saja yang tadinya aku lakukan di kamar. Tiba-tiba saja aku tergerak untuk memeriksa tas yang ku pakai semalam, mungkin saja aku memasukkannya kesana. Ku buka satu demi satu resleting tas itu, dan benar saja aku menemukannya disana.
" ya ampun Alya " kataku sambil menepuk dahiku perlahan. Segera ku pakai jam tangan itu dan berangkat menuju cafe
***
Dira menikmati segelas caffucino sambil sesekali menatap ke layar ponselnya yang terletak di atas meja seperti menanti sebuah pesan atau telepon dari seseorang. Sejak mengenal Nanda hidup Dira tampak jadi lebih ceria. Tak jarang aku melihat ekspresi di wajahnya yang nampak menahan tawa berulang kali atau tersenyum berkali-kali ketika menatap layar ponselnya membaca pesan dari Nanda. Saat itu aku hanya bisa menggelengkan kepalaku dan tersenyum tak mengerti.
Namun terkadang hatiku berkata mungkin itulah cinta. Sebuah perasaan yang pernah membuat hatiku benar-benar terluka. Sebuah perasaan yang entah masih bisa atau tidak singgah di hatiku untuk kedua kalinya.
" Dira..." suara ku mengagetkan Dira yang sedang asyik menekan layar ponselnya sepertinya tengah membalas pesan dari Nanda. Kedua mata ku membulat melihat senyuman yang Dira tunjukkan pada ku. senyuman manis yang sepertinya dipaksakan. Ku tarik kursi kosong di hadapan Dira
" kalau seandainya aku datang lebih lama lagi mungkin akan lebih baik ya Dir" kata ku agak ketus.
KAMU SEDANG MEMBACA
You're My Destiny
Teen FictionSebuah pertemuan singkat di suatu senja yang akhirnya menuliskan sebuah kisah tentang kita