Prolog

4.2K 264 44
                                    

SEORANG pria tengah tertidur lelap di atas sebuah ranjang sempit, tubuh tingginya ditutupi sehelai selimut tipis yang terlihat usang. Wajahnya yang polos seperti bayi dan rambut cokelat terangnya yang terlihat berantakan itu disinari cahaya bulan yang berasal dari jendela kecil di samping ranjangnya. Terlelap dalam selubung kedamaian, terbuai pada alam mimpi yang indah, tanpa menyadari bahaya yang sedang mengintainya. Bagaikan seekor anak domba yang terlelap di tengah gelapnya hutan, tanpa menghiraukan nyawanya yang dapat direnggut kapan saja oleh makhluk yang menduduki puncak piramida rantai makanan.

Sebuah pedang yang terbuat dari berlian berwarna hitam legam itu terlihat berkilauan di tengah kegelapan, mengacung penuh teror pada leher sang pria yang masih berkelana dalam alam mimpi di atas ranjang sempit miliknya. Tiga detik kemudian, pria tersebut merubah posisinya, membuat ranjang yang ditempatinya berderit pelan. Ia membalikkan tubuhnya. Pedang yang tadinya berada di belakang lehernya, kini berada tepat dihadapannya. Ujung pedang tersebut menekan urat nadinya, membuat sang pria mengernyit tidak nyaman merasakan sentuhan dingin di atas kulitnya.

Jendela kecil di samping tempat tidur pria tersebut, tiba-tiba saja tersentak membuka, kedua daun jendela itu menabrak dinding dengan suara berdebum. Sang pria hanya bergumam pelan menanggapi suara jendelanya, tak terganggu sedikitpun. Ia terbuai semakin dalam oleh alam bawah sadarnya.

Suara desisan api yang menjilat permukaan kayu di sebuah perapian kecil di sudut kamar, ditemani hembusan angin malam dari jendela yang terbuka, menjadi satu-satunya melodi di tengah dinginnya malam. Bintang yang selalu menampakkan dirinya di langit, untuk menemani sang bulan, kini mendadak menyembunyikan dirinya. Membiarkan sang bulan berdiri sendirian di tengah gelapnya cakrawala. Memancarkan sinarnya yang entah kenapa terlihat suram dan terasa menyedihkan. Seakan-akan sang bulan tahu, bahwa benang tipis yang mengikat raga si pria dengan jiwanya sebentar lagi akan terputus.

Api yang terus berkobar dalam perapian membuat suasana kamar terlihat sedikit lebih baik karena cahaya redup yang diberikannya. Kamar yang kini diisi dengan keremangan cahaya itu, menampilkan sebuah siluet seseorang yang sedari tadi masih mengacungkan pedangnya pada sang pria. Seakan menunggu waktu yang tepat untuk memutuskan benang kehidupan milik sang pria. Mata beriris sewarna dengan pekatnya darah itu, menatap lurus kearah wajah polos sang pria. Surai segelap bulu gagak milik siluet bermata merah tersebut, berhembus pelan, dibelai lembut oleh angin malam. Tangan kanannya yang menggenggam pedang, bergeser sedikit kearah depan, membuat ujung pedang yang masih menempel di atas kulit sang pria semakin tertekan lebih dalam.

Aroma anyir yang berasal dari cairan yang kini mengalir keluar dari sebuah goresan di kulit kecokelatan sang pria, mulai memenuhi ruangan kamar. Membuat manik mata siluet pemegang pedang itu, berkilat-kilat dan semakin menggelap. Suasana kamar benar-benar terasa lebih mencekam sekarang. Sang pria masih saja tersesat dalam alam mimpinya, tak sedikitpun berniat untuk sadar dan membuka matanya, menyelamatkan dirinya dari makhluk yang tengah haus akan kematiannya.

Geraman rendah khas binatang buas, keluar dari balik kerongkongan siluet itu. Ia masih mengacungkan pedangnya, tak bergerak sedikitpun, seakan-akan sesuatu tengah menahannya. Manik merah gelapnya yang tadi menatap tajam penuh ancaman, kini berubah kosong. Wajahnya yang berkulit seputih kapas, terlihat pias.

"Mengapa aku tak bisa membunuhmu?" suara yang sarat akan keputusasaan itu, mengalun di tengah sunyinya malam. Bertanya pada sang pria yang masih berada di dalam selubung kedamaian miliknya, yang hanya dibalas dengan hembusan nafasnya yang terdengar tenang dan teratur. Siluet itu perlahan menurunkan pedangnya. Percikan api mulai muncul dari ujung pedang sehitam jelaga itu, perlahan berubah menjadi kobaran yang menelan setiap inci dari pedang yang tengah digenggam sang siluet, lalu menghilang pergi bersama hembusan angin malam.

Ia melangkah tanpa suara mendekati sang pria. Tangan kanannya terangkat meraih leher sang pria, jari-jarinya yang panjang dan ramping, mengusap pelan kulit leher sang pria yang terluka karena pedangnya. Samar- samar, cahaya kehijauan muncul dari balik jarinya yang masih mengusap luka sang pria. Luka robekan itu perlahan menutup dan menghilang tanpa bekas, seakan tak pernah ada luka disana sebelumnya. Pun dengan cahaya hijau di jarinya yang juga perlahan meredup lalu menghilang.

Jari-jari sang siluet masih tetap berada di leher sang pria, mengusap pelan, dan perlahan naik kearah wajah. Mengelus permukaan wajah sang pria dengan amat hati-hati, seakan takut jika sentuhannya akan meremukkan wajah pria berkulit kecoklatan itu. Sebuah senyuman samar terukir di bibir semerah mawar milik sang siluet, "Di antara milyaran makhluk di dunia ini, mengapa kau yang terpilih?".

Sang pria hanya bergumam pelan, ia benar-benar terbuai akan sentuhan seringan bulu di wajahnya. Sang siluet terkekeh tanpa suara, "Kau benar-benar rapuh". Jari-jarinya mengelus pipi sang pria yang terasa hangat di kulitnya yang sedingin es, "Hanya dengan sedikit tekanan, tulang-tulangmu akan hancur berantakan", iris semerah darah miliknya terus menatap wajah sang pria, seakan mencari sesuatu disana, ia sedikit mengerutkan keningnya, "Lalu mati".

"Jika aku mengakui keberadaanmu", sang siluet kembali melanjutkan monolognya, "Mengakuimu sebagai pasanganku, mereka pasti akan memburumu". Jari pucatnya mengelus rambut cokelat terang milik si pria yang terlihat berantakan, "Mereka akan melakukan apapun untuk mendapatkan kematianmu".

"Tapi tak apa" senyuman samarnya berubah menjadi seringaian mengerikan, "Aku akan membunuh siapapun yang berani menyentuhmu". Kedua irisnya semakin menggelap dan berkilat-kilat. Pun dengan aura tubuhnya yang membuat suasana kamar kembali terasa mencekam. Kepala sang siluet mendekat kearah wajah si pria, membuat wajah mereka berdua kini sejajar dan saling berhadapan. Sang siluet memejamkan matanya, merasakan hembusan nafas hangat si pria. Erangan pelan terdengar dari balik kerongkongannya, disusul sebuah kalimat yang keluar dari bibir merahnya yang mengatup, seakan menahan sebuah dorongan dari dalam dirinya. Kalimat yang dibisikkan dengan nada sarat akan kepemilikan mutlak, bagai sebuah janji ditengah heningnya malam.

"Karena kau milikku".

To be continued.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Holaaa, akhirnya saya balik lagi setelah sekian lama menghilang di dunia oren ini.

Gimana? Gimana? Ada yang kangen sama ini cerita? #naikturunalis

Masukan, saran, dan kritik amat dibutuhkan yaa, biar makin semangat nulis dan idenya makin lancar. Btw, mungkin alur cerita dan sudut pandangnya bakalan beda dari yang sebelumnya, so stay tune!

Oke sampai disini dulu ya. Babay semuaah. Sampai ketemu di chapter selanjutnya.

RF.

My Alpha Female Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang