Part 2

235 17 7
                                    

Met pagi readers.. Ied mubarak yaaa.. Sorry slow post, maklum amatiran begini susah nyari inspirasi

Promise

Part 2 (Februari dan persiapan Ujian Nasional)

"Nilai pian kaya apa nak di skolahan? (Nilai kamu bagaimana nak di skolahan?)" tanya ibu ku yang baru datang dari dinasnya. Ibu ku bekerja sebagai seorang dosen di sebuah kampus ternama di kota ku, begitu pula ayah. Ayah adalah seorang kepala sekolah dari sekolahan Islam negeri ternama di kota ku. Beliau amat sangat tegas dan berwibawa. Bahkan ketegasannya itu kadang beliau bawa pulang ke rumah, hingga membuat ku merasa pusing bukan kepalang.

"Bagus ai ma, kaya biasanya ja (bagus ma, seperti biasanya saja)" jawab ku sambil fokus memandang kearah layar hape.

"Hape nya simpan pang dulu, mama handak bepandir nah (hapenya bisa di simpan dulu! Mama mau bicara nih)" ucap mama ku serius, dan akupun tak berani membantah, ingat dulu ketika mama ku memanggilku sedang aku masih santai dengan hape itu, dan naasnya hape ku di sita sebulan penuh, jelas membuat ku merana sepanjang hari karena hape itulah mainanku satu-satunya di rumah, sedang televisi?. Di rumah aku punya adik kecil, baru berumur 6 tahun, tv di kuasainya dengan memutar kartun-kartun kesukaan dia, dan aku tak mampu berdaya melawan kuasa dia yang jika aku rebut remote di tangannya, maka siap-siap telinga ku akan memerah karena di jewer nenek atau mama ku sendiri. Dan hape itu ku dapatkan dari bibi ku sewaktu dia mengunjungi ku ke rumah. Dan betapa senangnya aku, karena berharap di belikan ayah ibu ku tidak mungkin. Bukan! Bukan karena mereka tak mampu, tapi karena ketegasan mereka terhadap ku, televisi hanya boleh hidup klo aku sudah mengerjakan PR ku atau karena memang libur. Tak ayal.. Hape itulah tempat penghiburanku, meski belum ada aplikasi canggih, hanya bisa smsan dan mendengarkan radio saja, itu sudah lebih dari cukup bagiku.

"Kenapa ma?" tanya ku mendekati ibu ku.

"Bujurkan pian ada hubungan lawan anak Saputro tuh?" (apa benar kamu berhubungan sama anak pak Saputro itu?)" tanya mama ku serius. Dan akupun hanya bisa diam tak berani menjawab, aku bahkan tak tahu jawaban apa yang pantas untuk ku ucap atas pertanyaan mama ku itu 

"Jodha?? Kenapa diam?" tanya mama masih bernada tegas

"Ulun bekawanan aja ma ai (aku cuma temenan ma)" jawab ku, berharap mama ku yang tegas itu percaya dengan jawaban ku

"Jujur jodha..!" mama ku mulai ingin mengeluarkan taringnya (alamaaakkk)

"Bujur ma ai (bener ma)" jawab ku yakin

"Bujur lah, mama kada handak ada laporan lagi ke mama mengenai itu, jangan menyupani keluarga nak ai, pian sudah ganal, sudah handak sekolah SMA (bener ya, mama tidak ingin ada laporan lagi ke mama tentang itu, jangan bikin malu keluarga ya nak, kamu sudah besar, sudah mau SMA)" Jelas mama panjanv lebar dan semakin membuat ku bersalah

"Ya Tuhan, maafkan aku karena telah berbohong ke mama" rutuk ku dalam hati

********************

Hari berganti hari, minggu berganti bulan, hingga kekonyolan hubungan ku dengan Surya kami jalani layaknya tikus bersembunyi dari seorang kucing. Akupun menyadari, sepertinya ibu ku punya mata-mata di sekolah ini, hingga setiap kali aku terlihat agak menyimpang, aku akan mendapatkan ultimatum dari ibu ku sepulangnya di rumah

"Minum sur..!" aku menawari surya minuman segar ke arah surya ketika tengah asyik dengan sebuah bukunya

"Makasih jo, baik sekali sih sayang" ucapnya tersenyum ke arah ku

"Sama-sama.. Belajarnya yang rajin yaaa. Seminggu lagi kita akan menghadapi UN.. aku berharap kau mendapatkan nilai tinggi, supaya kita bisa masuk ke sekolah idaman kita sama-sama" ucap ku menepuk pundak surya. Dia tak menjawabnya, pikirku dia sedang konsen dan aku tak mau mengganggunya.

PromiseWhere stories live. Discover now