BC3

184 12 1
                                    

Happy reading!
Sorry, typo[s]
.
.
.
.
.
Ali termenung memikirkan nasibnya. Mungkin, orang akan mengira ia bahagia dengan takdirnya karena ia selalu tersenyum. Padahal, jauh dilubuk hatinya, ia ingin seperti anak-anak yang lain. Menikmati masa-masa sekolah dan masa-masa bergaul dengan teman sebaya. Jikalau ia tak bisa bersekolah lagi, mungkin bisa ia mendapat pekerjaan yang lebih layak untuk membantu keluarganya. Tapi, itu hanya angan semata.

'Aku ingin seperti yang lain.' Teriak Ali dalam batinnya.

Tetapi, ia sadar bahwa yang harus ia lakukan saat ini hanyalah berdoa, berusaha, dan bersyukur. Ia sadar, masih banyak anak-anak yang tidak bisa menikmati hidup. Ia sadar, masih banyak orang yang tidak bekerja.

Ia selalu bersyukur karena memiliki suasana keluarga yang hangat, harmonis, dan damai. Orang tua yang selalu berada disampingnya. Berbeda dengan teman Ali kebanyakan, orang tua mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka tanpa memikirkan perasaan anaknya. Itulah mengapa Ali bisa tetap tahan dengan kehidupannya. Pendidikan memang rendah, tetapi cara berpikirnya sangat matang. Ia pun tak pernah meninggalkan shalat. Itulah mengapa ia disukai banyak orang. Ralat, kecuali gadis.

Hm...

Membahas seorang gadis, ia langsung mengingat Prilly. Gadis yang belakangan ini selalu memenuhi hati dan pikirannya.

Ia memejamkan matanya dan tersenyum membayangkan jika ia dan gadisnya memang ditakdirkan bersama.

Ah!

Ia membuka matanya cepat. Ia teringat sesuatu. Lalu, ia mencari benda itu dikamarnya.

"Aduh! Dimana tadi ya kartu namanya. Ah ya! Masih disaku celana."

Buru-buru ia menuju ke kamar mandi lalu mengambil celana jeansnya. Kemudian meraba saku celanya. Dan ya! Akhirnya dapat!

Ia mengeluarkan kartu itu dari sakunya dan berjalan menuju kamar kecilnya.

Ia lalu duduk diatas kasur tipis diatas lantai yang biasa ia tiduri.

Saat melihat kartu nama itu, matanya langsung tertuju pada tulisan yang tertera di kartu itu.

Consina's holding

'Sepertinya nama perusahaan.'

Lalu ia melihat ada sebuah alamat lagi tertera dikartu tersebut. Sepertinya alamat rumah. (Maaf kalau ada bagian kartu nama yang seharusnya gak ada.)

Ia tersenyum lalu menyimpan kartu tersebut kedalam tas kecil yang biasa ia pakai untuk menyimpan uang dan handphone jadulnya.

Lalu ia merebahkan tubuhnya keatas kasur sambil tersenyum dan kemudian memejamkan matanya.

'Semoga Tuhan mengizinkan.'

***

Pagi harinya, Ali telah bersiap-siap pergi ke Pasar untuk membeli bahan-bahan untuk membuat bakso.

Ali pergi dengan menggunakan motor bututnya yang ia beli bekas dari temannya.

Ia tersenyum memikirkan rencananya setelah pulang dari pasar nanti.

Skip

Setelah selesai berbelanja di Pasar, Ali melajukan kendaraannya menuju sebuah rumah mewah.

Saat berada didepan gerbang, ia mengintip kearah rumah dari sela-sela pagar.

'Mobilnya masih ada.'

Ia pun segera menekan bel yang ada di dekat gerbang.

Tak lama, keluar seorang pria berseragam satpam dari dalam pagar.

Bakso CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang